Sabtu, 06 Januari 2018

Orientasi Kritik Sastra



Orientasi Kritik Sastra 
Rasiah
Literary Studies Scholar

Polemik mengenai eksistensi dan esensi sastra dalam pusaran ilmu pengetahuan sudah dimulai sejak zaman ilmuwan Yunani klasik (Greco-Roman period);  Plato, Aristotle, Horace and Longinus. Dalam buku Classical Literary Criticism (1965), Dorsch menguraikan perbedaan pandangan para pemikir-pemikir klasik tersebut seputar bagaimana meletakkan sastra pada koridor yang benar menurut pandangan kala itu. Plato menganggap bahwa karya sastra hanya-lah dunia tiruan, sehingga apa yang tercermin di dalamnya adalah hasil imitasi dunia dan kehidupan manusia. Plato menyangsikan kesempurnaan imitasi itu, karena menurutnya: “the production of the poets (and artists) are therefore imitations of imperfect copies of an ideal life; they are third-hand and unreal, and can teach nothing of value about life (Dorsch, 1965: 12)    
Akibat dari kesangsiannya terhadap ketepatan imitasi ini, Plato kemudian mensyaratkan bahwa karya sastra yang baik adalah “harus menggambarkan kebenaran”. Meskipun pandangan Plato terdengar sangat pesimis untuk menghasilkan gambaran kebenaran tersebut, pandangannya mengenai sastra sebagai dunia tiruan kemudian melahirkan teori dan kritik sastra dalam orientasi mimesis. Teori dan kritik ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya teori-teori realisme sastra modern dan berkembang menjadi lebih kompleks.
Aristoteles mengkritisi pandangan Plato yang seolah menyepelakan sastra sebagai hasil imitasi. Dalam buku Poetics, Aristoteles menilai bahwa meskipun sastra hanya rekaman dunia nyata, ia digubah secara seksama dan hanya manusia-manusia tertentu yang mampu melakukannya. Ia mengatakan bahwa “poetry is something more philosophical and more worthy of serious attention than history (Dorsch, 1965: 16). Pandangan Aristoteles ini kemudian melahirkan kritik ekspresif yang menekankan kepada hubungan sastra dengan penulis. Pandangan ini kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh para kritikus romantik dari abad 18 sampai dengan saat ini.   
Melanjutkan pandangan Plato dan Aristoteles, Horace (Horasius) dalam karyanya Ars Poetica melihat pentingnya audience sebagai penikmat sastra. Menurutnya, audience mendapatkan efek-efek dari estetika sastra, sehingga keberadaannya juga penting dalam lingkaran produksi sastra. Ia mengatakan bahwa  “the inventiveness which produces fictions designed to give pleasure (Dorsch, 1965: 22). Pandangan Horace ini kemudian menjadi cikal bakal munculnya kritik pragmatik yang menekankan kepada pembaca. Kritik pragmatik memandang bahwa karya sastra sebagai suatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada audience(pembaca) baik berupa efek kesenangan, ajaran pendidikan, maupun efek lainnya. Kritik ini kemudian berkembang hingga saat ini terutama dalam teori-teori resepsi dan tindak pembacaan.
Nama Longinus kemudian muncul melalui risalah terkenalnya berjudul On The Sublime. Sublime dalam pengertian Longinus adalah “an outstanding and unusual exaltation of conception and style” (Dorsch, 1965: 24) yang merujuk pada kehebatan expresi dan keunikan  yang telah menjadikan pengarang memperoleh ketenaran yang tak pernah mati. Pemikiran Longinus ini kemudian melahirkan kritik sastra objektif yang memusatkan perhatian pada karya sastra itu sendiri. Menurut kritik ini, karya sastra merupakan objek yang utuh yang sudah mencukupi dirinya sendiri (otonom), sehingga tidak harus didekati atau dikait-kaitkan dengan persoalan di luarnya, seperti politik, sosial,dan yang lainnya. Kritik ini kemudian bergema di tahun 1920an dalam kritik aliran Chicago School, Formalisme Rusia, Strukturalisme Praha, dan New Criticism Amerika.

Keempat pemikiran itu secara langsung mempengaruhi proses produksi dan kritik sastra tidak hanya di dunia barat tetapi juga di Indonesia. Meskipun kemudian di sadari bahwa keempat pemikiran ini memiliki penekanan sendiri-sendiri dan tidak bisa dipandang satu pendapat benar dan yang lainnya salah. Tidak  pula bisa dianggap pandangan satu sudah lapuk sedangkan pandangan lain adalah baru. Pada praktiknya, keempatnya selalu bercampur berputar mengitari proses produksi maupun kritik sastra sepanjang zaman yang disebut oleh Abrams sebagai orientasi kritik sastra (Abrams, 1979). Universe, pengarang, pembaca, dan karya sastra merupakan elemen sastra yang saling mempengaruhi satu sama lain dan kritik pun bisa difokuskan pada salah satu elemen tersebut, tergantung sudut pandang masing-masing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjaring Kematian: Cerpen Corona

Menjaring Kematian