Literary Studies Scholar
Polemik mengenai eksistensi dan esensi sastra dalam
pusaran ilmu pengetahuan sudah dimulai sejak zaman ilmuwan Yunani klasik (Greco-Roman
period); Plato, Aristotle, Horace and Longinus. Dalam buku Classical Literary
Criticism (1965), Dorsch menguraikan perbedaan pandangan para pemikir-pemikir klasik tersebut seputar bagaimana meletakkan sastra pada koridor yang benar menurut pandangan
kala itu. Plato menganggap bahwa karya sastra hanya-lah dunia tiruan, sehingga
apa yang tercermin di dalamnya adalah hasil imitasi dunia dan kehidupan manusia.
Plato menyangsikan kesempurnaan imitasi itu, karena menurutnya: “the production of the poets (and artists)
are therefore imitations of imperfect copies of an ideal life; they are
third-hand and unreal, and can teach nothing of value about life (Dorsch, 1965:
12)
Akibat dari kesangsiannya terhadap ketepatan imitasi ini,
Plato kemudian mensyaratkan bahwa karya sastra yang baik adalah “harus menggambarkan
kebenaran”. Meskipun pandangan Plato terdengar sangat pesimis untuk
menghasilkan gambaran kebenaran tersebut, pandangannya mengenai sastra sebagai
dunia tiruan kemudian melahirkan teori dan kritik sastra dalam orientasi
mimesis. Teori dan kritik ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya teori-teori
realisme sastra modern dan berkembang menjadi lebih kompleks.
Aristoteles mengkritisi pandangan Plato yang seolah menyepelakan
sastra sebagai hasil imitasi. Dalam buku Poetics,
Aristoteles menilai bahwa meskipun sastra hanya rekaman dunia nyata, ia digubah
secara seksama dan hanya manusia-manusia tertentu yang mampu melakukannya. Ia
mengatakan bahwa “poetry is something
more philosophical and more worthy of serious attention than history
(Dorsch, 1965: 16). Pandangan Aristoteles ini kemudian melahirkan kritik
ekspresif yang menekankan kepada hubungan sastra dengan penulis. Pandangan ini
kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh para kritikus romantik dari abad 18 sampai
dengan saat ini.
Melanjutkan pandangan Plato dan Aristoteles, Horace (Horasius)
dalam karyanya Ars Poetica melihat
pentingnya audience sebagai penikmat
sastra. Menurutnya, audience
mendapatkan efek-efek dari estetika sastra, sehingga keberadaannya juga penting
dalam lingkaran produksi sastra. Ia mengatakan bahwa “the
inventiveness which produces fictions designed to give pleasure (Dorsch,
1965: 22). Pandangan Horace ini kemudian menjadi cikal bakal munculnya kritik
pragmatik yang menekankan kepada pembaca. Kritik pragmatik memandang bahwa
karya sastra sebagai suatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada
audience(pembaca) baik berupa efek
kesenangan, ajaran pendidikan, maupun efek lainnya. Kritik ini kemudian
berkembang hingga saat ini terutama dalam teori-teori resepsi dan tindak
pembacaan.
Nama Longinus
kemudian muncul melalui risalah terkenalnya berjudul On The Sublime. Sublime dalam pengertian Longinus adalah “an outstanding and unusual exaltation of
conception and style” (Dorsch, 1965: 24) yang merujuk pada kehebatan
expresi dan keunikan yang telah
menjadikan pengarang memperoleh ketenaran yang tak pernah mati. Pemikiran
Longinus ini kemudian melahirkan kritik sastra objektif yang memusatkan
perhatian pada karya sastra itu sendiri. Menurut kritik ini, karya sastra
merupakan objek yang utuh yang sudah mencukupi dirinya sendiri (otonom),
sehingga tidak harus didekati atau dikait-kaitkan dengan persoalan di luarnya,
seperti politik, sosial,dan yang lainnya. Kritik ini kemudian bergema di tahun
1920an dalam kritik aliran Chicago School, Formalisme Rusia, Strukturalisme
Praha, dan New Criticism Amerika.
Keempat pemikiran itu secara langsung mempengaruhi proses
produksi dan kritik sastra tidak hanya di dunia barat tetapi juga di Indonesia.
Meskipun kemudian di sadari bahwa keempat pemikiran ini memiliki penekanan
sendiri-sendiri dan tidak bisa dipandang satu pendapat benar dan yang lainnya
salah. Tidak pula bisa dianggap
pandangan satu sudah lapuk sedangkan pandangan lain adalah baru. Pada
praktiknya, keempatnya selalu bercampur berputar mengitari proses produksi
maupun kritik sastra sepanjang zaman yang disebut oleh Abrams sebagai orientasi
kritik sastra (Abrams, 1979). Universe, pengarang, pembaca, dan karya sastra
merupakan elemen sastra yang saling mempengaruhi satu sama lain dan kritik pun
bisa difokuskan pada salah satu elemen tersebut, tergantung sudut pandang
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar