Jumat, 16 Maret 2018

PUES: Potret Indonesia Zaman Now

Rasiah
Pengamat Sastra

Gerakan politik yang cukup menghentak dalam sejarah bangsa Indonesia dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir, rupanya tidak beriringan dengan hentakan dalam gerakan sastra Indonesia, salah satunya puisi. Padahal, sastra biasanya selalu merekam dan mengikuti sosok-sosok hidup seperti politik, sosial, dan budaya. Kenyataannya, dalam kurun waktu dua puluh tahun ini, sastra Indonesia seakan vakum dari gerakan. Setelah berlalunya era 70/80an, karya sastra, terutama puisi, seperti terputus dari sejarah, kalau pun ada, tidak menonjol sebagaimana angkatan-angkatan sebelumnya, seperti Balai Putaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66, yang memiliki slogan, pelopor, dan selera literer yang khas. Mengapa sastra Indonesia seolah vakum? Apa yang menyebabkan gerakan itu tidak muncul? Jawaban yang paling masuk akal adalah belum adanya inovasi baru yang muncul dalam genre sastra (dalam hal ini puisi), dan juga tidak ada yang mempelopori gerakan tersebut.
Jejak Sejarah Puisi Indonesia sebagai Potret Semangat Zamannya
Jika dilihat dari sejarahnya, gerakan puisi Indonesia selalu berinterseksi dengan situasi politik, sosial, dan budaya bangsa Indonesia pada setiap eranya. Pada tahun 1920an muncul “Sajak Tanah Air”  bertepatan dengan era dideklarasikannya sumpah pemuda Indonesia yang menyatukan tekad dan komitmen tentang persatuan kesatuan Indonesia yang terejawantahkan dalam kesamaan visi tanah air, bangsa, dan bahasa. Meskipun demikian, puisi “Sajak Tanah Air” berada dalam angkatan Balai Pustaka yang tidak lain di sokong oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga kesadaran akan ke-Indonesiaan yang muncul dalam puisi pada saat itu tidak begitu kuat dikumandangkan. Gaya puisi menyimpangi konvensi pantun dan syair (yang menjadi bagian dari sastra Melayu lama), beraliran romantik merupakan ciri khasnya. Angkatan Pujangga Baru muncul pada era 1930an dipelopori oleh Alisjahbana dan Armijn Pane. Artikel Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru karya Alisyahbana merupakan slogan angkatan Pujangga Baru dengan penekanan pada semangat ke-Indonesiaan dan keinginan yang besar akan perubahan. Slogan ini kemudian mempengarhui selera literernya yang memusatkan perhatian pada nasionalisme dan pembaratan. Lahirnya angkatan 1945 yang dipelopori oleh Chairil Anwar dan kawan-kawan banyak mengangkat tema perjuangan kemerdekaan, sebagaimana Indonesia pada saat itu sedang dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan dari bangsa penjajah Belanda.
Konsep humanisme universal menjadi acuan untuk karya-karya angkatan ini dengan aliran ekspresionisme-realistik. Angkatan 66 dalam sastra Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Pada era ini, sastra dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Lekra mencetuskan slogan “politik adalah panglima”, sedangkan Manikebu adalah respon dari gerakan Lekra tersebut. Tema-tema puisi angkatan ini mempunyai konsepsi Pancasila, protes sosial dan politik, nurani manusia, kesadaran akan moral dan agama, sebagai respon terhadap situasi pergolakan politik saat itu. Angkatan 70-an, sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang ke-Indonesiaan. Absurditas tampak dalam karya dengan bentuk mantra, bentuk puisi yang ekstrim, dan tipografi yang unik, bahasa nonsense. Gaya absurd yang menjadi ciri tahun 1970-1990, sesungguhnya memotret perjalanan manusia dan bangsa Indonesia dalam menghadapi kehidupan yang lebih kompleks di era Orde Baru. Dari potret perubahan ini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa faktor utama yang menyebabkan puisi Indonesia selalu berubah dalam setiap tarikh  adalah konsep budaya yang mempengaruhi pandangan dan pemikiran masyarakat Indonesia, politik Indonesia, perpaduan budaya subkultur antar daerah di Indonesia serta perpaduan subkltur dengan budaya asing.
Puisi Esai: Potret Semangat Zaman Indonesia di awal Abad 21
Munculnya Puisi Esai di Indonesia tentu saja merupakan rekaman semangat zaman di awal abad dua satu. Indonesia masa kini yang bersangkutan dengan komunikasi lintas-budaya, ras dan gender, identitas global dan lokal, serta ketegangan yang kompleks antara ekonomi dan politik, melahirkan konsep baru mengenai identitas bangsa yang tentunya beragam dengan berbagai latar belakang sosial, agama, ras, suku bangsa, dan gender. Slogan yang diusung oleh gerakan Puisi Esai adalah “mengembalikan puisi ke ruang publik dengan memotret suara batin dan isu sosial bukan saja merupakan respon terhadap puisi yang selama ini dianggap berada dalam ruang ekslusif, tetapi juga membongkar elitisme dalam sastra, serta respon terhadap identitas Indonesia”. Slogan yang dicetuskan oleh Puisi Esai ini memiliki konsekuensi yang besar terhadap komposisi penyair dan selera literernya. Anggapan bahwa fungsi puisi sebagai media komunikasi seperti terputus pada khalayak, memicu penyair puisi esai untuk menjadikan fungsi itu nyata. Penggunaan bahasa yang terlampau eksklusif membuat pembaca (khalayak) hanya dapat menikmati indahnya diksi, tetapi tidak dapat menangkap makna yang lebih luas sebagai media komunikasi. Implikasi dari slogan ini adalah penyair dan pembaca. Penyair dalam puisi esai adalah boleh siapa saja ambil bagian. Cara ini tidak saja ingin mengembalikan puisi itu kepada masyarakat sebagai pembaca dan pencipta arti tektual, tetapi juga membongkar elitisme sastra, yang menganggap kegiatan bersastra hanya milik sekelompok atau orang tertentu saja. Padahal sense  bersastra dapat dimiliki oleh siapapun, dimana pun. dan kapanpun sepanjang manusia mampu mengolah kata menjadi bermakna. Namun demikian, tidak berarti bahwa puisi esai tidak memiliki standar estetika ketika menyerahkannya kepada masyarakat untuk mencipta. Slogan memotret batin dan isu sosial, menjadikan formula puisi esai menjadi lebih “rumit”, karena penyair tidak saja dituntut mampu merangkai kata-kata yang “indah” tetapi juga mampu menyampaikan isu-isu sosial yang pernah atau sedang terjadi di masyarakat.
Pengembangan bentuk formal Puisi Esai dapat dilihat dalam pengolahan isu yang hendak diekpresikan tampak lebih kompleks. Misalnya, puisi esai dipandang belum cukup hanya dengan mengungkap persoalan jatuh cinta pada seseorang, tetapi puisi ini bisa menjadi puisi esai jika ia mampu mendramatisasi cinta itu kedalam persoalan agama, etnis, atau kelas sosial, yang diangkat dari sebuah peritiwa yang pernah terjadi di masyarakat. Nilai plus yang kita dapatkan dari puisi esai adalah kita tidak saja menikmati keindahan diksi puisi esai, tapi juga mampu menangkap sisi batin individu dan  konflik sosial yang ada dan terjadi dalam masyarakat.
Melihat dari tujuannya, puisi esai merupakan wajah lain dari puisi bertendens yang pernah muncul pada tahun 60an tetapi dengan arah yang berbeda. Tendensi yang digelorakan dalam puisi ini sangat positif dalam menyikapi persoalan yang terjadi di Indonesia dewasa ini secara khusus dan dunia secara umum. Sejumlah tulisan yang sudah dihasilkan serta gerakan menulis puisi di 34 propinsi di Indonesia oleh 170 penyair dengan tema yang berbeda sesuai dengan latar geografis dan kultural merupakan upaya melihat identitas Indonesia secara menyeluruh. Hal ini dapat menimbulkan rasa empati atau menyediakan sumber pemikiran lain untuk direnungkan oleh diri pembaca. Puisi Esai mencoba menguatkan semangat untuk menghargai pluralitas dan diversitas yang menjadi ciri masyarakat Indonesia dan dunia. Penghargaan terhadap pluralitas dan diversitas dapat menyibak dan membongkar elitisme kemanusiaan, yang menghadirkan manusia dalam sekat-sekat yang kaku, menganggap satu masyarakat tertentu lebih penting dari masyarakat lainnya, lebih di dengar, lebih baik, dan lebih ideal. Dengan memperdengarkan suara-suara di 34 propinsi melalui bahasa yang mudah dipahami, puisi esai dapat menjadi sarana kontemplasi atau perenungan bagi masyarakat luas tanpa terkecuali mengenai esensi kemanusiaan dan kesusastraan itu sendiri. Apa yang dapat disuguhkan oleh puisi esai bagi dunia perpuisian di Indonesia dan khalayak? Ia memberi “warna” yang membuat dinamika dalam sastra Indonesia, serta membuat persambungan sejarah dalam puisi Indonesia. Di samping itu, puisi esai juga dapat membuka ruang-ruang riset sastra dengan menggunakan multi perspektif, serta riset interdisipliner mengenai Indonesia.

Melihat dari bentuknya, puisi esai merupakan jenis puisi yang sudah muncul dalam  periode awal kesusastraan Inggris. Tulisan John Milton dalam Paradise Lost (1667) dan Alexander Pope dalam Essay on Man (1733-1734) juga mirip dengan puisi esai  seperti yang diusung oleh Denny JA. Akan tetapi, Puisi Esai yang digagas oleh Denny JA tidak “setia” mengikuti bentuk puisi Milton dan Pope. Ia menciptakan invensi dengan memunculkan penambahan catatan kaki (footnote). Catatan kaki ini tidak saja mengatasi kesulitan bahasa yang terekspresi melalui simbol-simbol budaya, tetapi juga memberikan penegasan bahwa puisi ini berangkat dari realitas sosial. Artinya, puisi esai memang sudah ada, tetapi bentuk puisi esai yang diciptakan oleh Denny JA adalah baru. Pertanyaannya jika di masa yang akan datang ada orang lain yang mencipta puisi Esai bercatatan kaki, apakah ini dapat dipandang dipengaruhi oleh karya Denny JA atau tidak?

Tulisan ini dimuat di harian Rakyat Sultra pada kolom Bahasa dan Sastra
edisi Senin tanggal 19 Maret 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjaring Kematian: Cerpen Corona

Menjaring Kematian