Rasiah
Pengamat Sastra
Gerakan politik yang cukup menghentak dalam sejarah
bangsa Indonesia dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir, rupanya tidak
beriringan dengan hentakan dalam gerakan sastra Indonesia, salah satunya puisi.
Padahal, sastra biasanya selalu merekam dan mengikuti sosok-sosok hidup seperti
politik, sosial, dan budaya. Kenyataannya, dalam kurun waktu dua puluh tahun
ini, sastra Indonesia seakan vakum dari gerakan. Setelah berlalunya era
70/80an, karya sastra, terutama puisi, seperti terputus dari sejarah, kalau pun
ada, tidak menonjol sebagaimana angkatan-angkatan sebelumnya, seperti Balai
Putaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66, yang memiliki slogan,
pelopor, dan selera literer yang khas. Mengapa sastra Indonesia seolah vakum? Apa
yang menyebabkan gerakan itu tidak muncul? Jawaban yang paling masuk akal
adalah belum adanya inovasi baru yang muncul dalam genre sastra (dalam hal ini
puisi), dan juga tidak ada yang mempelopori gerakan tersebut.
Jejak Sejarah Puisi
Indonesia sebagai Potret Semangat Zamannya
Jika dilihat dari sejarahnya, gerakan puisi
Indonesia selalu berinterseksi dengan situasi politik, sosial, dan budaya
bangsa Indonesia pada setiap eranya. Pada tahun
1920an muncul “Sajak Tanah Air” bertepatan dengan era dideklarasikannya sumpah
pemuda Indonesia yang menyatukan tekad dan komitmen tentang persatuan kesatuan
Indonesia yang terejawantahkan dalam kesamaan visi tanah air, bangsa, dan
bahasa. Meskipun demikian, puisi “Sajak Tanah Air” berada dalam angkatan Balai
Pustaka yang tidak lain di sokong oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga kesadaran
akan ke-Indonesiaan yang muncul dalam puisi pada saat itu tidak begitu kuat
dikumandangkan. Gaya puisi menyimpangi konvensi pantun dan syair (yang menjadi
bagian dari sastra Melayu lama), beraliran romantik merupakan ciri khasnya. Angkatan
Pujangga Baru muncul pada era 1930an dipelopori oleh Alisjahbana dan Armijn Pane. Artikel Menudju Masjarakat dan
Kebudajaan Baru karya Alisyahbana
merupakan slogan angkatan Pujangga Baru dengan penekanan pada semangat ke-Indonesiaan dan keinginan yang besar akan
perubahan.
Slogan ini kemudian mempengarhui selera literernya yang memusatkan perhatian
pada nasionalisme dan pembaratan. Lahirnya angkatan 1945 yang dipelopori oleh
Chairil Anwar dan kawan-kawan banyak mengangkat tema perjuangan kemerdekaan, sebagaimana
Indonesia pada saat itu sedang dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan dari
bangsa penjajah Belanda.
Konsep humanisme universal menjadi acuan untuk karya-karya angkatan ini dengan aliran ekspresionisme-realistik. Angkatan 66 dalam sastra
Indonesia menunjukkan perhatian
yang serius kepada politik. Pada
era ini, sastra dipengaruhi
oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Lekra mencetuskan slogan “politik adalah panglima”,
sedangkan Manikebu
adalah
respon dari gerakan Lekra tersebut. Tema-tema puisi angkatan ini mempunyai konsepsi Pancasila, protes sosial dan politik,
nurani manusia,
kesadaran akan moral
dan agama,
sebagai respon terhadap situasi pergolakan politik saat itu. Angkatan 70-an, sastra berperan untuk
membentuk pemikiran tentang ke-Indonesiaan. Absurditas tampak dalam karya dengan bentuk mantra, bentuk puisi yang ekstrim, dan tipografi yang unik, bahasa
nonsense. Gaya absurd yang menjadi ciri tahun 1970-1990, sesungguhnya memotret
perjalanan manusia dan bangsa Indonesia dalam menghadapi kehidupan yang lebih
kompleks di era Orde Baru. Dari potret perubahan ini dapat ditarik satu kesimpulan
bahwa faktor utama yang menyebabkan puisi Indonesia selalu berubah dalam setiap
tarikh adalah konsep budaya yang
mempengaruhi pandangan dan pemikiran masyarakat Indonesia, politik Indonesia,
perpaduan budaya subkultur antar daerah di Indonesia serta perpaduan subkltur
dengan budaya asing.
Puisi Esai: Potret
Semangat Zaman Indonesia di awal Abad 21
Munculnya Puisi
Esai di Indonesia tentu saja merupakan rekaman semangat zaman di awal abad dua
satu. Indonesia masa kini yang bersangkutan
dengan komunikasi lintas-budaya, ras dan gender, identitas global dan lokal,
serta ketegangan yang kompleks antara ekonomi dan politik, melahirkan
konsep baru mengenai identitas bangsa yang tentunya beragam dengan berbagai
latar belakang sosial, agama, ras, suku bangsa, dan gender. Slogan yang diusung oleh gerakan Puisi Esai adalah “mengembalikan
puisi ke ruang publik dengan memotret suara batin dan isu sosial bukan saja merupakan
respon terhadap puisi yang selama ini dianggap berada dalam ruang ekslusif,
tetapi juga membongkar elitisme dalam sastra, serta respon terhadap identitas
Indonesia”. Slogan yang dicetuskan oleh Puisi Esai ini memiliki konsekuensi
yang besar terhadap komposisi penyair dan selera literernya. Anggapan bahwa fungsi
puisi sebagai media komunikasi seperti terputus pada khalayak, memicu penyair
puisi esai untuk menjadikan fungsi itu nyata. Penggunaan bahasa yang terlampau
eksklusif membuat pembaca (khalayak) hanya dapat menikmati indahnya diksi,
tetapi tidak dapat menangkap makna yang lebih luas sebagai media komunikasi.
Implikasi dari slogan ini adalah penyair dan pembaca. Penyair dalam puisi esai adalah
boleh siapa saja ambil bagian. Cara ini tidak saja ingin mengembalikan puisi
itu kepada masyarakat sebagai pembaca dan pencipta arti tektual, tetapi juga
membongkar elitisme sastra, yang menganggap kegiatan bersastra hanya milik
sekelompok atau orang tertentu saja. Padahal sense bersastra dapat
dimiliki oleh siapapun, dimana pun. dan kapanpun sepanjang manusia mampu
mengolah kata menjadi bermakna. Namun demikian, tidak berarti bahwa puisi esai
tidak memiliki standar estetika ketika menyerahkannya kepada masyarakat untuk
mencipta. Slogan memotret batin dan isu sosial, menjadikan formula puisi esai
menjadi lebih “rumit”, karena penyair tidak saja dituntut mampu merangkai
kata-kata yang “indah” tetapi juga mampu menyampaikan isu-isu sosial yang pernah
atau sedang terjadi di masyarakat.
Pengembangan
bentuk formal Puisi Esai dapat dilihat dalam pengolahan isu yang hendak
diekpresikan tampak lebih kompleks. Misalnya, puisi esai dipandang belum cukup
hanya dengan mengungkap persoalan jatuh cinta pada seseorang, tetapi puisi ini
bisa menjadi puisi esai jika ia mampu mendramatisasi cinta itu kedalam
persoalan agama, etnis, atau kelas sosial, yang diangkat dari sebuah peritiwa
yang pernah terjadi di masyarakat. Nilai plus yang kita dapatkan dari puisi
esai adalah kita tidak saja menikmati keindahan diksi puisi esai, tapi juga
mampu menangkap sisi batin individu dan
konflik sosial yang ada dan terjadi dalam masyarakat.
Melihat dari
tujuannya, puisi esai merupakan wajah lain dari puisi bertendens yang pernah
muncul pada tahun 60an tetapi dengan arah yang berbeda. Tendensi yang
digelorakan dalam puisi ini sangat positif dalam menyikapi persoalan yang
terjadi di Indonesia dewasa ini secara khusus dan dunia secara umum. Sejumlah
tulisan yang sudah dihasilkan serta gerakan menulis puisi di 34 propinsi di
Indonesia oleh 170 penyair dengan tema yang berbeda sesuai dengan latar
geografis dan kultural merupakan upaya melihat identitas Indonesia secara
menyeluruh. Hal ini dapat menimbulkan rasa empati atau menyediakan sumber
pemikiran lain untuk direnungkan oleh diri pembaca. Puisi Esai mencoba
menguatkan semangat untuk menghargai pluralitas dan diversitas yang menjadi
ciri masyarakat Indonesia dan dunia. Penghargaan terhadap pluralitas dan
diversitas dapat menyibak dan membongkar elitisme kemanusiaan, yang menghadirkan
manusia dalam sekat-sekat yang kaku, menganggap satu masyarakat tertentu lebih
penting dari masyarakat lainnya, lebih di dengar, lebih baik, dan lebih ideal.
Dengan memperdengarkan suara-suara di 34 propinsi melalui bahasa yang mudah
dipahami, puisi esai dapat menjadi sarana kontemplasi atau perenungan bagi
masyarakat luas tanpa terkecuali mengenai esensi kemanusiaan dan kesusastraan
itu sendiri. Apa yang dapat disuguhkan oleh puisi esai bagi dunia perpuisian di
Indonesia dan khalayak? Ia memberi “warna” yang membuat dinamika dalam sastra
Indonesia, serta membuat persambungan sejarah dalam puisi Indonesia. Di samping
itu, puisi esai juga dapat membuka ruang-ruang riset sastra dengan menggunakan
multi perspektif, serta riset interdisipliner mengenai Indonesia.
Melihat dari
bentuknya, puisi esai merupakan jenis puisi yang sudah muncul dalam periode awal kesusastraan Inggris. Tulisan
John Milton dalam Paradise Lost (1667)
dan Alexander Pope dalam Essay on Man
(1733-1734) juga mirip dengan puisi esai
seperti yang diusung oleh Denny JA. Akan tetapi, Puisi Esai yang digagas
oleh Denny JA tidak “setia” mengikuti bentuk puisi Milton dan Pope. Ia
menciptakan invensi dengan memunculkan penambahan catatan kaki (footnote). Catatan kaki ini tidak saja
mengatasi kesulitan bahasa yang terekspresi melalui simbol-simbol budaya,
tetapi juga memberikan penegasan bahwa puisi ini berangkat dari realitas
sosial. Artinya, puisi esai memang sudah ada, tetapi bentuk puisi esai yang
diciptakan oleh Denny JA adalah baru. Pertanyaannya jika di masa yang akan datang ada orang lain yang
mencipta puisi Esai bercatatan kaki, apakah ini dapat dipandang dipengaruhi oleh
karya Denny JA atau tidak?