Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo
Tulisan ini telah dimuat dirublik Bahasa dan Sastra, Harian Rakyat Sultra, edisi Sabtu 5 Januari 2019.
Tulisan ini telah dimuat dirublik Bahasa dan Sastra, Harian Rakyat Sultra, edisi Sabtu 5 Januari 2019.
Popularitas film sebagai sebuah
objek dalam kajian sastra menguat sejak masifnya adaptasi karya sastra,
misalnya novel atau cerita pendek. Dalam beberapa dekade, sederet
film yang sukses
secara komersil dan apresiasi akademis merupakan
hasil adaptasi dari karya sastra. Dalam perfilman Hollywood, misalnya, hampir semua skenario film dan serial TV berasal dari adaptasi novel. The Old Man and The Sea karya
Ernest Hemingway, Gone With The Wind karya Margaret Mitchel, The God Father I, II, III karya Mario Puzo, The Lord of the Rings karya Tolkien, Game Of Thrones karya GG Martins, The
Da Vinci Code karya Dan Brown, dan Harry Potter karya JK Rowling merupakan contoh karya-karya adaptasi
novel. Dalam skala nasional, adaptasi karya
sastra juga
sudah bergema sejak tahun 1970-an. Sederet
film (maupun sinetron) merupakan hasil transformasi dari karya sastra (novel),
antara lain, Sitti Nurbaya, Bunga
Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya HAMKA, Si Doel Anak
Betawi, Lupus, Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi, 99 Cahaya di
langit Eropa.
Fenomena
adaptasi karya sastra membawa kita pada istilah ‘ikranisasi’ dalam teori
sastra. Kata tersebut diadopsi dari bahasa Prancis écran yang berarti ‘layar’. Ikranisasi merupakan pelayarputihan
atau pemindahan sebuah
novel ke dalam film. Transformasi novel ke layar
putih mau tidak mau memunculkan berbagai
perubahan. George Bluestone dalam bukunya Novels into Film menjabarkan proses
pelayarputihan novel tersebut dengan segala konsekuensi perubahan yang terjadi
dari novel sebagai hipogramnya. Tantangannya adalah banyak orang rupanya
terjebak dalam persoalan keaslian setelah mengalami proses transformasi. Tidak
jarang kemudian muncul keluhan bahwa film ini tidak sesuai isi novel, menjadi
buruk atau malah lebih baik. Padahal setiap perubahan itu dapat menghasilkan
bentuk pemaknaan baru. Contoh, salah satu scene dalam novel Gone With The Wind adalah ketika tokoh
utama kulit putih perempuan bernama Scarlet dicegat dan hendak diperkosa oleh
tokoh kulit hitam dalam perjalanan pulang ke rumahnya, di dalam film tokoh
kulit hitam diganti dengan tokoh kulit putih miskin (poor white). Pergantian tokoh yang melibatkan isu rasial ini
menjadi menarik untuk dikaji. Sama halnya dengan penghilangan dan penambahan
lainnya dalam bentuk sekuel maupun prequel
merupakan isu yang menarik untuk dikaji di dalam film. Dalam Prequel Jane Ayre yang ditulis oleh Jean Rhys berjudul Wide Sargaso Sea, mengisahkan kehidupan seorang perempuan non white
dari Jamaica yang dialienasi dalam novel dan film Jane Eyre menguak isu lain terkait dengan feminisme di Inggris yang
diboncengi oleh kolonialisme. Isu-isu dalam perubahan ini dapat menjadi masalah
baru untuk ditelaah dalam sebuah penelitian sastra.
Proses perubahan dalam skala yang lebih luas juga disebut
sebagai alih wahana untuk membicaraan transformasi dari satu jenis medium ke medium lain.
Ikranisasi
secara spesifik membicarakan perubahan menuju
layar putih, sedangkan alih wahana meliputi perubahan dari berbagai
jenis karya seni ke jenis karya seni lain. Sebagai contoh, cerita rakyat Danau
Toba di Sumatera Utara dialihwahanakan oleh Lena Simanjuntak dalam opera Perempuan di Pinggir Danau. Isu
perempuan dan alam dalam opera ini memungkinkan kita mengkajinya dengan
perspektif ekofeminisme. Damono
lebih jauh membahas alih wahana yang juga bisa
terjadi dari film menjadi novel, atau bahkan puisi yang lahir dari lukisan atau
lagu dan sebaliknya. Kajian yang tren dengan alih
wahana dan ikranisasi adalah perbandingan, intertekstual, transformasi maupun proses
adaptasinya, dan isu-isu sosial budaya yang langsung mengarahkan pada
teori-teori tertentu dalam kajian sastra.
Kajian sastra
pun semakin luas seiring dengan perkembangan teknologi. Mario Klarer, seorang profesor bahasa Inggris dan studi
Amerika dari Universitas Innsbruck, dalam bukunya
An
Introduction to Literary Studies (2004)
menegaskan bahwa pada dekade awal abad ke-21, film tidak bisa diabaikan dalam
kajian sastra. Film menurutnya genre semi-tekstual yang dipengaruhi sekaligus mempengaruhi
sastra dan kritik sastra. Film ditentukan oleh teknik sastra; sebaliknya,
praktik sastra mengembangkan fitur-fitur tertentu juga dipengaruhi film. Banyak
drama pada abad kedua puluh, misalnya, telah berevolusi dalam interaksi dengan
film, yang sarana penggambaran fotografisnya jauh melampaui cara penggambaran
realistis di teater. Fiksi postmodern juga memperoleh beberapa fitur
strukturalnya dari film. Mode presentasi istimewa film, seperti sudut kamera,
pengeditan, gerakan lambat dan cepat, dapat dijelaskan dalam kerangka teks. Klarer
menegaskan bahwa film merupakan major
genres in textual studies bersama dengan prosa, puisi dan drama.
Sampai di sini,
kita melihat visualisasi dalam film dapat dibaca dalam kerangka teks yang dapat
dikaji dalam perspektif sastra. Boggs dan Patrie, dalam bukunya The Art of Watching Films, menganggap
film memiliki kemiripan dengan berbagai bentuk seni lain, salah satunya sastra
(puisi dan novel). Winokur dalam bukunya The
Complete Guide to Movies, Flicks, and Films menyoroti kesamaan sastra dan
film dari segi fungsinya sebagai sarana hiburan dan didaktisme. Film seringkali
mengandung alegori, teks-teks yang makna permukaannya seringkali mengacu pada
konteks-konteks politik, etika, agama, dan sosial dan pesan-pesan kultural dalam
refleksinya. Dalam buku How to Read A
Film; The World of Movies, Media, and Multimedia, Monaco menambahkan
persamaan sastra dan film dari aspek struktur naratifnya. Potensi naratif film begitu penting sehingga
ikatannya yang sangat kuat tidak terbentuk dengan lukisan, tidak juga dengan
drama, melainkan dengan novel. Hal itu terlihat dari sisi cerita, baik film
maupun novel dapat menceritakan suatu kisah yang detil dari sudut pandang naratornya,
meskipun dalam film diperlukan banyak efek-efek khusus. Kesamaan elemen-elemen itulah yang memungkinkan
film dapat dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakan dalam teori
sastra sesuai dengan isu dan masalah yang diangkat. Dan persamaan ini pula yang
rupanya membuat novel seringkali diadaptasi menjadi film.
Harrah's Cherokee Casino - Map & Directions - JamBase
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino 전주 출장마사지 is located in Murphy 거제 출장안마 at 3355 S. (9) 733-7000 or 877-777-3300. The 안양 출장안마 casino offers a large 창원 출장안마 casino, a 서울특별 출장샵 poker room, and