Kamis, 03 Januari 2019

FILM SEBAGAI OBJEK KAJIAN SASTRA

Rasiah
Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo
Tulisan ini telah dimuat dirublik Bahasa dan Sastra, Harian Rakyat Sultra, edisi Sabtu 5 Januari 2019.
Popularitas film sebagai sebuah objek dalam kajian sastra menguat sejak masifnya adaptasi karya sastra, misalnya novel atau cerita pendek. Dalam beberapa dekade, sederet film yang sukses secara komersil dan apresiasi akademis merupakan hasil adaptasi dari karya sastra. Dalam perfilman Hollywood, misalnya, hampir semua skenario film dan serial TV berasal dari adaptasi novel. The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway, Gone With The Wind karya Margaret Mitchel,  The God Father I, II, III karya Mario Puzo, The Lord of the Rings karya Tolkien, Game Of Thrones karya GG Martins, The Da Vinci Code karya Dan Brown, dan Harry Potter karya JK Rowling merupakan contoh karya-karya adaptasi novel. Dalam skala nasional, adaptasi karya sastra juga sudah bergema sejak tahun 1970-an. Sederet film (maupun sinetron) merupakan hasil transformasi dari karya sastra (novel), antara lain, Sitti Nurbaya, Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya HAMKA, Si Doel Anak Betawi,  Lupus, Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi, 99 Cahaya di langit Eropa
            Fenomena adaptasi karya sastra membawa kita pada istilah ‘ikranisasi’ dalam teori sastra. Kata tersebut diadopsi dari bahasa Prancis écran yang berarti ‘layar’.  Ikranisasi merupakan pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel ke dalam film. Transformasi novel ke layar putih mau tidak mau memunculkan berbagai perubahan. George Bluestone dalam bukunya Novels into Film menjabarkan proses pelayarputihan novel tersebut dengan segala konsekuensi perubahan yang terjadi dari novel sebagai hipogramnya. Tantangannya adalah banyak orang rupanya terjebak dalam persoalan keaslian setelah mengalami proses transformasi. Tidak jarang kemudian muncul keluhan bahwa film ini tidak sesuai isi novel, menjadi buruk atau malah lebih baik. Padahal setiap perubahan itu dapat menghasilkan bentuk pemaknaan baru. Contoh, salah satu scene dalam novel Gone With The Wind adalah ketika tokoh utama kulit putih perempuan bernama Scarlet dicegat dan hendak diperkosa oleh tokoh kulit hitam dalam perjalanan pulang ke rumahnya, di dalam film tokoh kulit hitam diganti dengan tokoh kulit putih miskin (poor white). Pergantian tokoh yang melibatkan isu rasial ini menjadi menarik untuk dikaji. Sama halnya dengan penghilangan dan penambahan lainnya dalam bentuk sekuel maupun prequel merupakan isu yang menarik untuk dikaji di dalam film. Dalam Prequel Jane Ayre yang ditulis oleh Jean Rhys berjudul Wide Sargaso Sea, mengisahkan kehidupan seorang perempuan non white dari Jamaica yang dialienasi dalam novel dan film Jane Eyre menguak isu lain terkait dengan feminisme di Inggris yang diboncengi oleh kolonialisme. Isu-isu dalam perubahan ini dapat menjadi masalah baru untuk ditelaah dalam sebuah penelitian sastra.
Proses perubahan dalam skala yang lebih luas juga disebut sebagai alih wahana untuk membicaraan transformasi dari satu jenis medium ke medium lain. Ikranisasi secara spesifik membicarakan perubahan menuju layar putih, sedangkan alih wahana meliputi perubahan dari berbagai jenis karya seni ke jenis karya seni lain. Sebagai contoh, cerita rakyat Danau Toba di Sumatera Utara dialihwahanakan oleh Lena Simanjuntak dalam opera Perempuan di Pinggir Danau. Isu perempuan dan alam dalam opera ini memungkinkan kita mengkajinya dengan perspektif ekofeminisme. Damono lebih jauh membahas alih wahana yang juga bisa terjadi dari film menjadi novel, atau bahkan puisi yang lahir dari lukisan atau lagu dan sebaliknya. Kajian yang tren dengan alih wahana dan ikranisasi adalah perbandingan, intertekstual, transformasi maupun proses adaptasinya, dan isu-isu sosial budaya yang langsung mengarahkan pada teori-teori tertentu dalam kajian sastra.
Kajian sastra pun semakin luas seiring dengan perkembangan teknologi. Mario Klarer, seorang profesor bahasa Inggris dan studi Amerika dari Universitas Innsbruck, dalam bukunya An Introduction to Literary Studies (2004) menegaskan bahwa pada dekade awal abad ke-21, film tidak bisa diabaikan dalam kajian sastra. Film menurutnya genre semi-tekstual yang dipengaruhi sekaligus mempengaruhi sastra dan kritik sastra. Film ditentukan oleh teknik sastra; sebaliknya, praktik sastra mengembangkan fitur-fitur tertentu juga dipengaruhi film. Banyak drama pada abad kedua puluh, misalnya, telah berevolusi dalam interaksi dengan film, yang sarana penggambaran fotografisnya jauh melampaui cara penggambaran realistis di teater. Fiksi postmodern juga memperoleh beberapa fitur strukturalnya dari film. Mode presentasi istimewa film, seperti sudut kamera, pengeditan, gerakan lambat dan cepat, dapat dijelaskan dalam kerangka teks. Klarer menegaskan bahwa film merupakan major genres in textual studies bersama dengan prosa, puisi dan drama.

Sampai di sini, kita melihat visualisasi dalam film dapat dibaca dalam kerangka teks yang dapat dikaji dalam perspektif sastra. Boggs dan Patrie, dalam bukunya The Art of Watching Films, menganggap film memiliki kemiripan dengan berbagai bentuk seni lain, salah satunya sastra (puisi dan novel). Winokur dalam bukunya The Complete Guide to Movies, Flicks, and Films menyoroti kesamaan sastra dan film dari segi fungsinya sebagai sarana hiburan dan didaktisme. Film seringkali mengandung alegori, teks-teks yang makna permukaannya seringkali mengacu pada konteks-konteks politik, etika, agama, dan sosial dan pesan-pesan kultural dalam refleksinya. Dalam buku How to Read A Film; The World of Movies, Media, and Multimedia, Monaco menambahkan persamaan sastra dan film dari aspek struktur naratifnya.  Potensi naratif film begitu penting sehingga ikatannya yang sangat kuat tidak terbentuk dengan lukisan, tidak juga dengan drama, melainkan dengan novel. Hal itu terlihat dari sisi cerita, baik film maupun novel dapat menceritakan suatu kisah yang detil dari sudut pandang naratornya, meskipun dalam film diperlukan banyak efek-efek khusus. Kesamaan elemen-elemen itulah yang memungkinkan film dapat dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakan dalam teori sastra sesuai dengan isu dan masalah yang diangkat. Dan persamaan ini pula yang rupanya membuat novel seringkali diadaptasi menjadi film. 

1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino - Map & Directions - JamBase
    Harrah's Cherokee Casino 전주 출장마사지 is located in Murphy 거제 출장안마 at 3355 S. (9) 733-7000 or 877-777-3300. The 안양 출장안마 casino offers a large 창원 출장안마 casino, a 서울특별 출장샵 poker room, and

    BalasHapus

Menjaring Kematian: Cerpen Corona

Menjaring Kematian