Rasiah
Dosen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Halu Oleo
Tanggal 12 Oktober 2007, Albert Arnold Gore Jr, mendapat hadiah
Nobel Perdamaian. Hadiah nobel itu diberikan kepada Gore atas kiprahnya dalam film dokumenter "An
Inconvenient Truth (2006) yang dipandang telah berjasa dalam
meningkatkan kewaspadaan manusia terhadap perubahan iklim. Gore adalah mantan Wakil Presiden Amerika Serikat di era 1993 hingga
2001 dan politisi pertama yang mengangkat isu bahaya
emisi karbon dioksida terhadap pemanasan global. Ketika ia menjadi anggota Kongres di akhir tahun 1970-an, ia sering mengadakan diskusi mengenai
perubahan iklim, meski isu ini belum
begitu populer dan menyita perhatian masyarakat AS saat itu. Kampanye anti-perubahan iklim kian digeluti Gore, setelah ia kalah
dalam dalam pemilihan Presiden AS di tahun
2000.
"An
Inconvenient Truth” mengangkat setting Gunung
Kilimanjaro di Tanzania, Afrika sebagai wilayah yang terkena dampak pemanasan global, gunung yang
juga telah menarik hati penulis kenamaan Amerika abad dua puluh, Ernest
Hemingway, dan menuangkannya dalam salah satu cerita pendeknya berjudul Snow In Kalimanjoro (Salju di Kalimanjoro)
(1938). Tidak disangka, film ini meraup banyak
penghargaan, termasuk Piala Oscar pada tahun 2007 dalam kategori "Best Documentary" dan "Best Original Song." Arti penting
film ini sesungguhnya
bukan terletak pada penghargaan yang diterimanya, tetapi pada upaya menyadarkan
manusia akan ‘kematian’ bumi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan sastra dan film, dalam mempengaruhi pembaca/penonton
memang mumpuni. Perpaduan unsur estetis dan ekstra estetis melalui fantasi yang tinggi
dengan representasi yang rasional membuat sastra tidak saja memenuhi fungsinya sebagai
sarana hiburan bagi penonton/pembaca, tetapi juga mempengaruhi dan membentuk sikap dan
prilakunya. Sama halnya dengan sastra, film adalah media informasi yang efektif karena lewat
narasi dan jalinan dialog dialog para karakter yang membentuk cerita, pesan yang ingin disampaikan
oleh film lebih “mengena” ketibang harus disampaikan secara lisan. Karena itu, film banyak
dipergunakan sebagai alat kampanye yang bertujuan untuk mempengaruhi massa.
Istilah film yang bergenre ‘hijau’ dalam tulisan ini merujuk pada istilah sastra hijau,
yakni sastra yang bertema lingkungan. Menurut Pranoto, sastra hijau membantu menggugah
kesadaran untuk mencintai alam dan seluruh isinya Film hijau berarti film yang mengangkat
tema alam dan lingkungan hidup dengan tendesi penyadaran berlingkungan. Begitu gentingnya
persolan alam yang dihadapi manusia dewasa ini, sehingga kampanye
terhadap lingkungan begitu intens. Penggunaan media sastra pun tidak luput dengan sasaran audiens
anak-anak. Menumbuhkan kesadaran sejak dini merupakan langkah yang tepat dan bijak untuk
penyelamatan bumi dari kematian. Belakangan ini, banyak kita temui film-film produksi holywood
yang menonjolkan alam dan lingkungan fisik sebagai latarnya. Ada pula yang melibatkan binatang
dan tumbuhan sebagai karakternya, yang hidup berdampingan dengan manusia atau dipotret secara
tersendiri. Kebanyakan film tersebut bergenre animasi dan fantasi, yang ditujukkan pada audiens
anak-anak maupun remaja. Lingkungan hidup dijadikan tema utama serta solusi yang ditawarkan
untuk penyelesaian masalah lingkungan. Produser memadukan unsur alam, teknologi, manusia,
gender, dan binatang dalam sebuah kehidupan ekologis, tidak saja bertujuan menampilkan paras
ekologis yang memukau, tetapi juga nilai-nilai yang arif terhadap ekologis, baik di darat maupun
di laut, pada wilayah tropis, maupun negeri empat musim.
Film Finding Nemo menceritakan sebuah kisah petualangan satwa laut yang cukup
spektakuler. Jean-Jacques Mantello selaku sutradara dan penulis cerita bersama Francois Mantello
ingin mengajak penonton untuk melihat keindahan laut yang berisi ikan hiu, paus, ubur-ubur,
kura-kura laut, hingga ikan-ikan yang langka ditonton di daratan. Dunia bawah laut yang penuh
misteri terungkap lewat gambar-gambar yang menarik. Memang sasaran dari film ini adalah penonton
anak-anak yang terlihat dari narasinya. Sama halnya dengan Ocean World, juga mengangkat kehidupan ekologi laut di salah satu settingnya. Film ini mengajak penonton untuk melakukan perjalanan melalui, antara lain, hutan Kepulauan California, Great Barrier Reef di Australia, dan Pulau Roca Partida di lepas pantai Meksiko. Setting terakhir ini merupakan rumah bagi ribuan ikan hiu.
Penonton menyaksikan pemandangan dan adegan-adegan spektakuler di bawah gelombang laut.
Ikan pari ditampilkan sebagai penari balet yang menawan, prosesi hiu martil, keindahan siput laut
di perairan Spanyol, dan pertemuan unik dengan hewan crustacea terbesar di planet ini.
Pesan utama yang ingin disampaikan oleh Ocean world kurang lebih kepada pemeliharaan biota
laut dengan mengehindari eksploitasi biota laut dan juga sampah yang dibuang ke laut.
Film Masrha and The Bear menampilkan paras ekologi kutup Utara. Sajian pemandangan
musim salju yang memutih dan musim semi yang penuh bunga diperindah dengan tanaman buah
buahan yang bermanafaat bagi kehidupan, serta prilaku para karakter binatang di dalamnya.
Manusia digambarkan bergaul dengan binatang buas seperti beruang, serigala, dan harimau,
maupun binatang jinak seperti kelinci, tupai, babi, domba, anjing, burung, dan juga binatang laut
seperti ikan yang hidup berdampingan dalam suatu komunitas. Representasi ini dapat memberikan
satu edukasi dan dapat membentuk mindset anak-anak mengenai pentingnya menjaga hubungan
dengan alam dan segala isinya. Potret beruang yang memiliki banyak keterampilan; memasak,
suka merawat rumah pohon, berkebun, dan beternak lebah madu menuntun kita agar bijak
memanfaatkan lingkungan.
Film Pette’s
Dragon mengambil latar kutup Selatan, tepatnya
di New Zealand. Disutradarai oleh David Lowery, Pete’s Dragon menghadirkan petualangan yang apik
dan menyentuh hati antara dua tokoh
berbeda spesies, yakni seekor naga bernama Elliot dan Pette, seorang anak
manusia. Pemandangan
hutan hijau nan asri serta suasana country kota kecil yang
tenang menjadikan film ini sangat segar dipandang mata. Ilutrasi yang paling menonjol dan bermakna dalam
film ini adalah ketika naga disentuh oleh orang yang lembut hatinya dan polos,
maka bulunya berubah jadi hijau. Artinya bahwa manusia-manusia yang berhati
arif dan bijaksanalah yang akan dekat dengan alam. Mereka dapat dipercaya
menjadi pelindung kelestraian alam. Film ini juga menampilkan eksploitasi hutan
yang menyeret manusia bertindak destruktif terhadap alam.
Film berikutnya yang
memotret paras lingkungan adalah Moana.
Moana, di-release tahun 2016,
menyajikan panorama lautan di kepulauan Hawai yang indah. Moana dalam bahasa Polynesia berarti “lautan” menjiwai potret alam laut yang menjadi setting film tersebut. Moana digambarkan berjuang menyelamatkan kampung halamannya
dari kehancuran atas
ulah Te Fiti. Menurut
mitos, Te Fiti adalah seorang dewi pencipta segala pulau dan kehidupan. Jantung
Te Fiti yang berupa batu hijau dicuri oleh manusia setengah-dewa Maui,
menyebabkan Te Fiti murka dan menghancurkan pulau-pulau di sekitarnya. Tugas
Moana adalah mengajak Maui mengembalikan batu itu pada tempatnya semula. Ajakan
Moana terhadap Maui cukup keras, karena Maui memiliki sikap yang sulit diatur dan sesuka hati. Te Fiti dapat diartikan sebagai
simbol bumi yang murka akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan oleh
manusia. Moana merepresentasikan simbol partisipasi perempuan dalam penyelamat
alam, dan menggalakkan rekonsiliasi gender untuk penyelamatan lingkungan. Film ‘hijau’ ini mewarkan kepada kita beberapa alternatif cara dalam mewujudkan kecintaan terhadap alam. Sarana ini pula sangat efektif jika digunakan untuk
menumbuhkan kecintaan lingkungan sejak usia dini.
Tulisan ini dimuat dikolom Bahasa dan Sastra Harian Rakyat Sultra edisi Minggu tanggal 23 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar