Kamis, 02 Agustus 2018

FILM ANIMASI ‘HIJAU’: MENGAJARKAN ANAK PEDULI LINGKUNGAN

Rasiah

Dosen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo



Tanggal 12 Oktober 2007, Albert Arnold Gore Jr, mendapat hadiah Nobel Perdamaian. Hadiah nobel itu diberikan kepada Gore atas kiprahnya dalam film dokumenter "An Inconvenient Truth (2006) yang dipandang telah berjasa dalam meningkatkan kewaspadaan manusia terhadap perubahan iklim. Gore adalah mantan Wakil Presiden Amerika Serikat di era 1993 hingga 2001 dan politisi pertama yang mengangkat isu bahaya emisi karbon dioksida terhadap pemanasan global. Ketika ia menjadi anggota Kongres di akhir tahun 1970-an, ia sering mengadakan diskusi mengenai perubahan iklim, meski isu ini belum begitu populer dan menyita perhatian masyarakat AS saat itu. Kampanye anti-perubahan iklim kian digeluti Gore, setelah ia kalah dalam dalam pemilihan Presiden AS di tahun 2000.
"An Inconvenient Truth mengangkat setting Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Afrika sebagai wilayah yang terkena dampak pemanasan global, gunung yang juga telah menarik hati penulis kenamaan Amerika abad dua puluh, Ernest Hemingway, dan menuangkannya dalam salah satu cerita pendeknya berjudul Snow In Kalimanjoro (Salju di Kalimanjoro) (1938). Tidak disangka, film ini meraup banyak penghargaan, termasuk Piala Oscar pada tahun 2007 dalam kategori "Best Documentary" dan "Best Original Song." Arti penting film ini sesungguhnya bukan terletak pada penghargaan yang diterimanya, tetapi pada upaya menyadarkan manusia akan ‘kematian’ bumi.
 Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan sastra dan film, dalam mempengaruhi pembaca/penonton
 memang mumpuni.  Perpaduan unsur estetis dan ekstra estetis melalui fantasi yang tinggi 
dengan representasi yang rasional membuat sastra tidak saja memenuhi fungsinya sebagai 
sarana hiburan bagi penonton/pembaca, tetapi juga mempengaruhi dan membentuk sikap dan 
prilakunya. Sama halnya dengan sastra, film adalah media informasi yang efektif karena lewat 
narasi dan jalinan dialog dialog para karakter yang membentuk cerita, pesan yang ingin disampaikan 
oleh film lebih “mengena” ketibang harus disampaikan secara lisan. Karena itu, film banyak 
dipergunakan sebagai alat kampanye yang bertujuan untuk mempengaruhi massa.
               Istilah film yang bergenre ‘hijau’ dalam tulisan ini merujuk pada istilah sastra hijau, 
yakni sastra yang bertema lingkungan. Menurut Pranoto, sastra hijau membantu menggugah
 kesadaran untuk mencintai alam dan seluruh isinya Film hijau berarti film yang mengangkat 
tema alam dan lingkungan hidup dengan tendesi penyadaran berlingkungan. Begitu gentingnya
 persolan alam yang dihadapi manusia dewasa ini, sehingga kampanye 
terhadap lingkungan begitu intens. Penggunaan media sastra pun tidak luput dengan sasaran audiens 
anak-anak. Menumbuhkan kesadaran sejak dini merupakan langkah yang tepat dan bijak untuk 
penyelamatan bumi dari kematian. Belakangan ini, banyak kita temui film-film produksi holywood 
yang menonjolkan alam dan lingkungan fisik sebagai latarnya. Ada pula yang melibatkan binatang 
dan tumbuhan sebagai karakternya, yang hidup berdampingan dengan manusia atau dipotret secara 
tersendiri. Kebanyakan film tersebut bergenre animasi dan fantasi, yang ditujukkan pada audiens 
anak-anak maupun remaja. Lingkungan hidup dijadikan tema utama serta solusi yang ditawarkan 
untuk penyelesaian masalah lingkungan. Produser memadukan unsur alam, teknologi,  manusia,
 gender, dan binatang dalam sebuah kehidupan ekologis, tidak saja bertujuan menampilkan paras
 ekologis yang memukau, tetapi juga nilai-nilai yang arif terhadap ekologis, baik di darat maupun 
di laut, pada wilayah tropis, maupun negeri empat musim. 
               Film Finding Nemo menceritakan sebuah kisah petualangan satwa laut yang cukup 
spektakuler. Jean-Jacques Mantello selaku sutradara dan penulis cerita bersama Francois Mantello 
ingin mengajak penonton untuk melihat keindahan laut yang berisi ikan hiu, paus, ubur-ubur,
 kura-kura laut, hingga ikan-ikan yang langka ditonton di daratan. Dunia bawah laut yang penuh
 misteri terungkap lewat gambar-gambar yang menarik. Memang sasaran dari film ini adalah penonton 
anak-anak yang terlihat dari narasinya. Sama halnya dengan Ocean World, juga mengangkat kehidupan ekologi laut di salah satu settingnya. Film ini mengajak penonton untuk melakukan perjalanan melalui, antara lain, hutan Kepulauan California, Great Barrier Reef di Australia, dan Pulau Roca Partida di lepas pantai Meksiko. Setting terakhir ini merupakan rumah bagi ribuan ikan hiu. 
Penonton menyaksikan pemandangan dan adegan-adegan spektakuler di bawah gelombang laut.
Ikan pari ditampilkan sebagai penari balet yang menawan, prosesi hiu martil, keindahan siput laut 
di perairan Spanyol, dan pertemuan unik dengan hewan crustacea terbesar di planet ini. 
Pesan utama yang ingin disampaikan oleh Ocean world kurang lebih kepada pemeliharaan biota
 laut dengan mengehindari eksploitasi biota laut dan juga sampah yang dibuang ke laut. 
               Film Masrha and The Bear menampilkan paras ekologi kutup Utara. Sajian pemandangan 
musim salju yang memutih dan musim semi yang penuh bunga diperindah dengan tanaman buah
 buahan yang bermanafaat bagi kehidupan, serta prilaku para karakter binatang di dalamnya. 
Manusia digambarkan bergaul dengan binatang buas seperti beruang, serigala, dan harimau, 
maupun binatang jinak seperti kelinci, tupai, babi, domba, anjing, burung, dan juga binatang laut
 seperti ikan yang hidup berdampingan dalam suatu komunitas. Representasi ini dapat memberikan
 satu edukasi dan dapat membentuk mindset anak-anak mengenai pentingnya menjaga hubungan
 dengan alam dan segala isinya. Potret beruang yang memiliki banyak keterampilan; memasak, 
suka merawat rumah pohon,  berkebun, dan beternak lebah madu menuntun kita agar bijak 
memanfaatkan lingkungan.
            
Film Pette’s Dragon mengambil latar kutup Selatan, tepatnya di New Zealand. Disutradarai oleh David Lowery, Pete’s Dragon menghadirkan petualangan yang apik dan menyentuh hati antara dua tokoh berbeda spesies, yakni seekor naga bernama Elliot dan Pette, seorang anak manusia. Pemandangan hutan hijau nan asri serta suasana country kota kecil yang tenang menjadikan film ini sangat segar dipandang mata. Ilutrasi yang paling menonjol dan bermakna dalam film ini adalah ketika naga disentuh oleh orang yang lembut hatinya dan polos, maka bulunya berubah jadi hijau. Artinya bahwa manusia-manusia yang berhati arif dan bijaksanalah yang akan dekat dengan alam. Mereka dapat dipercaya menjadi pelindung kelestraian alam. Film ini juga menampilkan eksploitasi hutan yang menyeret manusia bertindak destruktif terhadap alam.
Film berikutnya yang memotret paras lingkungan adalah Moana. Moana, di-release tahun 2016, menyajikan panorama lautan di kepulauan Hawai yang indah. Moana dalam bahasa Polynesia berarti “lautan” menjiwai potret alam laut yang menjadi setting film tersebut. Moana digambarkan berjuang menyelamatkan kampung halamannya dari kehancuran atas ulah Te Fiti. Menurut mitos, Te Fiti adalah seorang dewi pencipta segala pulau dan kehidupan. Jantung Te Fiti yang berupa batu hijau dicuri oleh manusia setengah-dewa Maui, menyebabkan Te Fiti murka dan menghancurkan pulau-pulau di sekitarnya. Tugas Moana adalah mengajak Maui mengembalikan batu itu pada tempatnya semula. Ajakan Moana terhadap Maui cukup keras, karena Maui memiliki sikap yang sulit diatur dan sesuka hati. Te Fiti dapat diartikan sebagai simbol bumi yang murka akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan oleh manusia. Moana merepresentasikan simbol partisipasi perempuan dalam penyelamat alam, dan menggalakkan rekonsiliasi gender untuk penyelamatan lingkungan. Film ‘hijau’ ini mewarkan kepada kita beberapa alternatif cara dalam mewujudkan kecintaan terhadap alam. Sarana ini pula sangat efektif jika digunakan untuk menumbuhkan kecintaan lingkungan sejak usia dini. 


Tulisan ini  dimuat dikolom Bahasa dan Sastra Harian Rakyat Sultra edisi Minggu tanggal 23 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjaring Kematian: Cerpen Corona

Menjaring Kematian