Menjaring
Kematian
R a s i a h
"Bu, David
pulang."
"Puji Tuhan.
Semesta memberkatimu, Nak."
Ia tak akan pernah tahu betapa perempuan tua di seberang telepon terduduk di atas sofa mendengar kabar bahagia yang telah sekian hari ia nanti. Namun, tidak dengan perempuan tua yang tahu persis anaknya sedang berusaha kuat menahan sesak dan serak ketika memberinya kabar bahagia. Harapan tentang kehidupan.
Seketika mengalirlah kecemasan dan doa-doa yang panjang. Sahut-sahutan puji syukur dan tangis yang resah saling berkelindan. Berkejaran menggapai-gapai lantas merangkum hawa panas di Jakarta dan langit beku di kota Wuhan.
Lelaki itu menurunkan tas yang dipersiapkan buru-buru setelah kabar wabah merebak. Lima teman sekelas, dua penghuni asrama di lantai yang sama tempatnya menyewa flat, dan seorang profesor tengah mendapatkan perawatan intensif setelah mereka didiagnosis terjangkit virus mematikan.
David memastikan tak ada yang ketinggalan. Sebuah travel bag lolos ke tangannya setelah ia tarik keluar dari bagasi taksi. Tas punggung tak begitu berat, hanya disesaki dokumen-dokumen penting dan data riset yang baru ia peroleh dari sebuah perusahaan periklanan di Wuhan. Promotor berjanji akan membimbing menyelesaikan tugas akhir secara daring. Suasana benar-benar tidak memungkinkan untuk segala bentuk pertemuan dan tatap muka ruang kelas.
Tungkainya melangkah cepat mencari kursi untuk menelepon setelah baru saja melompat dari taksi online yang ia pesan setelah berkali-kali driver memutuskan orderan. setelah lima belas kali mencoba, nasib baik akhirnya berpihak padanya. Ini pukul sebelas, sejak pagi tadi, kendaraan umum mulai diperingatkan untuk membatasi pengantaran penumpang. Kereta listrik, bus, dan subway bahkan sama sekali tidak ada yang bergerak.[1]
Setelah menenangkan ibunya, lelaki yang mengenakan dua lapis
jaket itu memutuskan sambungan telepon dan berlari ke arah petugas penjaga
pintu masuk ruang tunggu. Orang-orang berjibaku dalam kecemasan dan ketergesaan
yang nyata. Beberapa orang berteriak tak sabar, sebagian lain tertunduk lesu
dan limbung.
Suara-suara berubah dengung yang nyaris tidak ia pahami lagi maknanya. Padahal sebagai mahasiswa yang mengambil kelas reguler ia memang lebih sering berbicara dalam bahasa Mandarin ketimbang bahasa Inggris yang digunakan sebagian besar mahasiswa di kelas-kelas internasional. Program schoolarship yang ia ambil mengharuskannya memprogram kuliah bersama mahasiswa-mahasiswa asli Tiongkok.
David lantas menghubungi Baryll, Dimas, dan Rini, tiga WNI lainnya[2] yang sama-sama menempuh pendidikan. Mereka diperkenalkan secara terburu-buru oleh seorang pegawai kedutaan, dan digabung dalam satu grup whatsapp untuk memudahkan komunikasi. Tapi ketiganya sedang menunggu jemputan dari pihak atase. Tak ada satu pun yang berhasil memakai jasa kendaraan umum. Situasi benar-benar tak dapat diprediksi. Orang-orang yang tidak saling mengenal makin merasa asing setelah wajah mereka semua ditutup masker segala macam rupa.
Antrean panjang mengular. Ia menyusuri setiap line chek in, mencari lajur yang telah dipersiapkan pihak kedutaan khusus untuk warga negara Indonesia yang akan pulang ke negara mereka.[3] Beruntung, jalur itu mulai sepi. Hanya tinggal beberapa orang yang mengantre. Sisanya sudah boarding.
Akhirnya aku pulang. Selamat tinggal Wuhan. Kita berjumpa
setelah badai selesai. Demikian ia membatin. Dua orang
petugas menghampirinya. Lelaki berkaca mata itu tau, sesuai sekilas pengamatan,
akan ada pihak berwajib yang memastikan keberangkatan mereka. Sayang, ia tidak
pernah tahu, prosedur ini untuk apa.
"Bapak akan terbang ke Indonesia?" Seorang lelaki yang telah beberapa kali mengelap keringatnya di bawah dingin suhu airport bertanya dengan kepedulian yang tulus
"Ya. Benar."
"Kami butuh bantuan Bapak mengisi data medis. Oya, saya
Hacoun Li dan ini teman saya Fai Wang."
Lelaki kedua meminta dengan hormat, dalam dialek kanton yang
jelas.
Telinganya menangkap dengan pasti dialek Hacoun Li. Ia
menyebut Li dengan bunyi Lei yang mengayun. Lelaki yang sekilas mirip aktor
lawas Aaron Kwok itu tidak menggunakan dialek Yangtze sebagaimana umumnya
masyarakat Provinsi Hubei. Barangkali ia putra daerah asal Hong Kong.
Segera ia raih kertas dan pena yang disodorkan. Diisinya semua data lengkap, tentang keperluan tinggal, status kenegaraan, izin belajar, gangguan medik, dan sebagainya. Ia menuliskan huruf dan angka-angka dalam aksara Han Zi dengan cermat dan hati-hati. Ingatan membawanya ke wangi sayur asam, sambal terasi, dan aroma ikan asin yang akan menjemputnya di depan pintu seraya ia cium dalam-dalam tangan ayah dan pipi ibu yang mulai mengkerut. Ia bayangkan haru membekap kepalanya dan rasa bahagia memeluk dadanya ketika ayah dan ibu mendekapnya di ruang tamu. Akan ada ucap selamat dari sanak famili tentu saja. Pun demikian, di masa-masa pandemi, kepulangan dan pertemuan nyaris terlalu abstrak untuk sebuah definisi.
Dua carik kertas yang telah ia selesaikan segera ia serahkan
kepada petugas. Kedua lelaki itu memintanya menunggu sebentar. David membuka
hapenya, menge-scroll dan mencari nama Marisa, kekasihnya. Setelah
beberapa kali bunyi dering, telepon lewat sambungan whatsapp
pun terangkat.
"Halo."
"My Lord! Kamu jadi pulang, kan?"
"Ya, jadi. Aku jadi pulang."
"Aku tunggu. Demi apa pun!"
Kali ini ia tak dapat membendung air matanya. Marisa bercerita kalau lelaki itu tak melamarnya dalam waktu dekat, ayahnya kemungkinan besar akan menerima pinangan John dan keluarganya. John adalah anak dari atasan ayahnya. Sejak momentum imlek di awal tahun sebenarnya David sudah berencana mudik, mengambil cuti sekaligus meminang sang pujaan hati. Jadwal konsultasi yang padat dan riset yang tak bisa ditinggal benar-benar mengunci kakinya hingga tak bisa bergerak pulang. Jika tidak, kemungkinan ia akan mengulang dari awal penelitian yang sudah bertahun-tahun ia garap. Sebuah pilihan yang terlalu berisiko.
Kenangan membawanya pada momen awal bertemu kekasihnya. Perempuan
itu jurnalis di sebuah media massa yang fokus pada pengembangan kemanusiaan dan
riset-riset ilmiah. Di sebuah jam makan siang yang gerah, keduanya
bertemu untuk keperluan interview setelah
sebelumnya perempuan itu membuat janji. Kebetulan saat itu David menjabat
sebagai ketua tim dalam sebuah penelitian yang sedang fokus menggarap isu-isu
separatisme dan poskolonialisme. Umur mereka tidak jauh beda. David berusia 27 sedang
Marisa tiga tahun di bawahnya. Lelaki bergelar master dari New Zeland itu
memang sedang menikmati puncak karir dan buah dari keseriusannya berjibaku
dalam dunia akademik. Sedang Marisa terlihat cukup cerdas untuk mengimbangi
terma dan semua istilah ilmiah yang dilontarkan lelaki itu sebagai respons atas
pertanyaan-pertanyaan Marisa yang juga tajam dan menukik.
Interview berjalan lancar dan hangat. Marisa menyodorkan tangan dan berjanji akan memberikan bukti terbit. David menggenggam tangan itu. Sesuatu menjalar hangat di lengan, mengelus sikunya yang tajam, lantas mengalirkan arus listrik dalam tegangan yang cukup mengganggu di bahunya. Ia tersedot dalam momentum yang mistis dan dramatis.
"Bagaimana kalau kita keluar minum kopi untuk merayakan berakhirnya sesi sidang tesis ini?"
Marisa tergelak lepas dalam sikap yang tetap anggun dan terjaga kala lelaki itu menganalogikan dirinya sebagai juri dalam sebuah ruang sidang.
"Bagaimana kalau kita keluar ngeteh setelah berita saya
naik cetak?"
Keduanya sepakat. Sejak itu mereka rutin minum teh dan
sesekali ngopi sebagai dua pasang kekasih.
Tiga tahun silam momen minum kopi dan interview mengawali relasi mereka. Lelaki itu tak ingin terburu-buru mengikat janji dengan kekasihnya. Ia tahu, keduanya memiliki interes yang sama kuat dalam perkara karir. Sementara ia melanjutkan studi ke negeri China, Marisa pun diangkat sebagai CEO di media tempat ia bekerja. David sadar, mereka harus lebih dulu terlibat dalam beberapa masalah, beberapa pertengkaran, debat, dan adu argumen, demi saling mengenal dan mengukur sikap dan mental masing-masing. Keduanya tak pernah sepakat dengan jalur pernikahan yang terburu-buru hanya karena rekomendasi satu dua orang, seperti yang marak terjadi di sekitar mereka akhir-akhir ini.
Tiga tahun silam momen minum kopi dan interview mengawali relasi mereka. Lelaki itu tak ingin terburu-buru mengikat janji dengan kekasihnya. Ia tahu, keduanya memiliki interes yang sama kuat dalam perkara karir. Sementara ia melanjutkan studi ke negeri China, Marisa pun diangkat sebagai CEO di media tempat ia bekerja. David sadar, mereka harus lebih dulu terlibat dalam beberapa masalah, beberapa pertengkaran, debat, dan adu argumen, demi saling mengenal dan mengukur sikap dan mental masing-masing. Keduanya tak pernah sepakat dengan jalur pernikahan yang terburu-buru hanya karena rekomendasi satu dua orang, seperti yang marak terjadi di sekitar mereka akhir-akhir ini.
Tahun ini barulah keduanya bersepakat untuk bertunangan.
Lelaki itu dikagetkan oleh suara yang baru saja ia kenali
beberapa saat lalu. Kedua petugas dengan marga Li dan Wang tadi kembali
menghampirinya. Keduanya menyampaikan permohonan maaf karena David harus
dikarantina beberapa jenak sebagai konsekuensi dari riwayat penyakit batuk dan
suhu tubuhnya. Ketiga lelaki itu terlibat dalam sebuah perdebatan kecil karena
David bersikeras tidak ingin dikarantina. Pesawat dari Indonesia sebentar lagi take
off. Petugas Li dan Wang berjanji ini hanya sementara, David tidak akan
dirugikan.
Di tengah perdebatan, ketiga temannya akhirnya muncul. Mereka memiliki izin tinggal yang sama dengan David, dengan status sebagai mahasiswa. Naas, ketiganya pun mengalami ciri medik yang tidak memungkinkan untuk masuk ke pesawat. Ketiganya harus melewati prosedur yang sama dengan David. David lantas mundur dan membiarkan kedua petugas menjalankan tugas mereka.
Lelaki itu bersama ketiga temannya akhirnya harus menunggu lagi beberapa jenak. Masing-masing hanyut dengan risau dan gundah masing-masing. David membuka hape untuk kesekian kalinya. Membalas beberapa pesan dari kolega dan mengirim kabar bahagia ke beberapa kerabat. Kabar tentang kepulangan yang diharapkan.
Sebuah berita dengan tagline Corona muncul di layar hape.
Konon, pemerintah Indonesia telah mempersiapkan sebuah daerah dengan jumlah
penghuni yang tidak signifikan untuk tempat transit dan karantina massal WNI yang dipulangkan dari RRC.[4]
Berita yang membawa kabar bahagia tentunya. Ia berharap menjadi satu dari
sekitar dua ratusan orang yang akan menjadi warga sementara dalam kamp
konsentrasi.
Hingga akhirnya pengumuman penerbangan ke Indonesia terdengar menghentak kengerian David dan teman-temannya. Pesawat akan tinggal landas dalam waktu lima menit kedepan.
Mereka kembali berlarian mendatangi kembali kedua petugas yang belakangan mereka sadari sebagai tenaga medis bandara. Kali ini perdebatan menjadi lebih sengit dari sebelumnya. Suara-suara tinggi dan argumen sengit yang lebih sering berujung makian semakin ganas ditekankan pihak David. Li dan Wang akhirnya kewalahan. Mereka lantas dibantu otoritas bandara untuk menenangkan David dan kawan-kawannya.
“Weisheme wo buneng jin feiji ne? Wo
you jipiao, huzhao, he qianzheng.”
“Baoqian nin xuyao jinru geli. Zhe
shi fagui.”[5]
"You. You don't deserve to block us get in to the
fucking plane. Big No!"
"Sorry, Sir. It's the procedure."
Mahasiswa program doktor itu akhirnya sadar, perdebatan tak akan mengubah keputusan pihak Wuhan Tianhe International Airport. Lagi pula tenaganya sudah habis. Energinya terserap ke batas penerimaan dan keikhlasan. Ia sudah tak mampu berdebat. Tak juga berselera menenangkan ketiga temannya yang naik pitam dan lepas kontrol. Panggilan terakhir terus terngiang di ruang-ruang kesadarannya. Semakin keras panggilan itu dilantangkan, semakin ketat pula kakinya terkunci di lantai bandara.
Depresi. Dilepasnya kacamatanya sebentar. Di tengah tunduk
yang dalam, rambutnya ia remas sembari bersitahan dengan gelombang isak. Dalam
kepala terngiang wajah ayah dan suara ibu yang tak henti memanjatkan puja atas
berita kepulangan. Ia juga membayangkan wajah Marisa dan kemungkinan perempuan
itu dilamar oleh seseorang bernama John. Jika itu terjadi, ia tak akan pernah
memaafkan takdir. Hayalan membawanya terbang ke ruang kelas, tempat kelima classmate
dan seorang profesornya terbaring lemah dalam ruang isolasi yang menjemukan. Semuanya
bergantian bermunculan di ruang-ruang ingatan David, menikamnya dengan
ketidakikhlasan paripurna.
Hidungnya menyesap aroma sayur asam, ikan asin, sambal terasi, aroma kamar yang telah hampir dua tahun ia tinggalkan. Semakin aroma itu menguar, semakin dadanya diberati oleh keputusasaan dan bayangan maut yang terlalu kentara. Ia adalah nelayan dengan jala yang membentang, siap menjaring kematian.
Menyikapi keributan yang ditimbulkan kelompok David di
tengah suasana mencekam yang dialami penumpang lainnya,
mereka digiring ke ruang isolasi sementara. Lelaki itu menoleh sejenak ke arah
landasan pacu. Pesawat yang kembali pulang ke tanah air akhirnya lepas landas.
Ia tak mampu membayangkan hidup
terisolasi bersama orang-orang sakit di tempat yang merupakan rumah bagi
pandemi yang mulai melumpuhkan dunia. Bisa jadi kelak ia mati sebagai penderita
tanpa seorang pun mengantar jenazahnya ke liang lahat. Atau kemungkinan
terbaiknya, ia tetap hidup dengan paru-paru yang telanjur terinfeksi dan tetap
mati dengan cara yang jauh lebih pelan, jauh lebih menyakitkan.
Di dalam bilik isolasi, kekasih Marisa itu merenungkan kembali nasibnya. Ia mengerahkan sisa tenaganya untuk menelepon perempuan yang menunggunya.
"Aku tak jadi pulang. Mungkin tak akan pernah.”
"Sorry?"
"Maafkan aku. Marisa, look. I thought John is the best man you can marry. Aku...."
"Stop it! Sekarang yang terpenting bukan pernikahan. Tapi bagaimana kita berdua bisa tetap hidup. Itu saja dulu. Lagian
tak akan ada pesta.[6] Tak ada pernikahan tanpa undangan."
Sambungan terputus. Sebelum mematikan ponsel ia mengirim pesan ke nomor ibunya. Jari-jari yang mengetik huruf-huruf kecil bergerak dalam tremor yang nyata. Ia menggigit bibir dan memejamkan matanya kuat-kuat sebelum menekan tombol send.
"Bu, David tak jadi pulang."
Di dalam bilik isolasi, kekasih Marisa itu merenungkan kembali nasibnya. Ia mengerahkan sisa tenaganya untuk menelepon perempuan yang menunggunya.
"Aku tak jadi pulang. Mungkin tak akan pernah.”
"Sorry?"
"Maafkan aku. Marisa, look. I thought John is the best man you can marry. Aku...."
"Stop it! Sekarang yang terpenting bukan pernikahan. Tapi bagaimana kita berdua bisa tetap hidup. Itu saja dulu. Lagian
tak akan ada pesta.[6] Tak ada pernikahan tanpa undangan."
Sambungan terputus. Sebelum mematikan ponsel ia mengirim pesan ke nomor ibunya. Jari-jari yang mengetik huruf-huruf kecil bergerak dalam tremor yang nyata. Ia menggigit bibir dan memejamkan matanya kuat-kuat sebelum menekan tombol send.
"Bu, David tak jadi pulang."
[1]Mahasiswa
Indonesia di Wuhan, China, Rio Alfi, menceritakan kondisi kota yang seolah mati setelah
penyebaran virus corona baru terjadi di Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei mengakibatkan transportasi umum seperti kereta, bus, dan
subway dihentikan begitu juga kereta listrik.https://www.google.com/amp/amp.kontan.co.id/news/wuhan-bak-kota-mati-ini-pengakuan-mahasiswa-indonesia
[2] Pemerintah mengevakuasi
ratusan warga negara Indonesia (WNI) dari Kota Wuhan, China terkait wabah virus corona atau COVID-19 pada 2
Tujuh orang sisanya masih tertinggal di Wuhan. Sementara sisanya menolak pulang karena
alasan pribadi.http://m.liputan6.com/news/read/4190430/bukan-3-ternyata-ada-4-mahasiswa-indonesia-yang-tertinggal-di-wuhan?utm_source=Mobile&utm_medium=whatsapp&utm_campaign=Share_Top
[3] Indonesia
dan 13
negara lain
telah mengevakuasi warga dari Wuhan karena Virus Corona https://m.liputan6.com/global/read/4169093/indonesia-dan-13-negara-yang-evakuasi-warganya-dari-pusat-virus-corona-wuhan
[4] WNI tersebut
diangkut dengan pesawat komersil dari China Minggu pagi. Usai pemeriksaan kesehatan
dan menjalani prosedur kekarantinaan, mereka langsung diberangkatkan lagi ke
Natuna https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200202131337-20-470872/wni-dari-wuhan-tiba-di-natuna-untuk-dikarantina
[5] Bahasa Mandarin: (1) Mengapa saya
tidak bisa naik ke pesawat? Saya punya tiket, paspor, dan visa; (2) Maaf, Anda
harus dikarantina. Ini prosedur.
[6]
Banyak pasangan yang berencana menikah harus rela menunda rencana pesta pernikahan
setelah COVID-19 menyebar dengan massif, termasuk di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar