PUISI ESAI sebagai Puisi “Bertendens” di Era Kontemporer: Potret Batin dan Isu Sosial
Dr. Rasiah, M.Hum>> Literary studies Scholar>>Dosen Sastra Inggris>> UHO
Sastra Indonesia, khususnya puisi, sejak munculnya dan perkembangannya yang terakhir selalu dibayangi oleh situasi politik, sosial, dan budaya. Lahirnya puisi Indonesia ditandai dengan munculnya puisi “Sajak Tanah Air” karya Muhammad Yamin yang dimuat pertama kalinya dalam Jong Sumatra No 4. Tahun III, April 1920. Kriteria untuk menyebut puisi Indonesia tentulah merujuk pada pengertian sastra Indonesia modern (istilah modern di sini tidak untuk pertentangan dengan kata klasik, tetapi sekedar menunjukkan sebuah perkembangan dan kehidupan kesusastraan pada masa itu). Sastra Indonesia modern merujuk pada ciri: (1) ditulis dalam bahasa Indonesia, (2) masalah yang dikemukakan adalah masalah Indonesia, dan (3) pengarangnya adalah orang Indonesia (Soemardidjaja, 1966; Enre, 1963). Kelahiran puisi Indonesia modern ini dijiwai oleh semangat kebangsaan Indonesia. Sejak kelahiran sastra Indonesia modern tersebut, puisi sebagai bagian dari kesusastraan Indonesia modern diakui mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal ini membuat adanya persambungan sejarah puisi (maupun prosa), karena ada pergeseran nilai maupun norma pada setiap eranya.
“Sajak Tanah Air” karya Muhammad Yamin tersebut menurut Pradopo (1995) sesungguhnya merupakan respon dari karya –karya sebelumnya yang berupa sajak-sajak Melayu lama, baik itu berupa tanggapan maupun penyambutan atau meneruskan konvensi maupun penyimpangan terhadap konvensi sastra Melayu lama tersebut. Hal ini terkait dengan karya sastra, puisi, selalu hadir sebagai hasil dari ketengangan antara konvensi dan inovasi (Teeuw, 1984).
Sebelum kemunculan “Sajak Tanah Air”, telah ada puisi Melayu lama dalam ragam puisi pantun dan syair (Pradopo, 2002). Pantun dan syair ini dipandang tidak masuk dalam puisi Indonesia modern akibat media yang digunakan adalah bahasa Melayu. Salah satu puisi Melayu lama tersebut adalah Syair Burung Pungguk. Syair Burung Pungguk memiliki konvensi tersendiri yang kemudian disimpangi oleh Muhamamad Yamin dalam sajak Tanah Air- nya. Puisi itu tidak lagi berupa ragam pantun dan syair tetapi sudah menciptakan inovasi yang kemudian melahirkan babak baru dalam dunia perpuisian di Indonesia. Ketegangan antara konvensi dan inovasi ini telah membawa puisi Indonesia mengalami perkembangan baik dari bentuk estetik dan ekstra estetiknya pada era-era berikutnya (Pradopo, 1995). Untuk mengindentifikasi perubahan-perubahan itu dapat memungkinkan oleh karena perbedaan-perbedaan yang mencolok di antara puisi-puisi tersebut yang dapat dilihat dalam kurun waktu lahirnya sampai pada perkembangan yang terakhir. Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada puisi tersebut menjadikan pengertian puisi juga berubah dan dinamis.
Perkembangan puisi Indonesia tentu saja berinterseksi dengan perkembangan bangsa Indonesia. Pada tahun 1920 bertepatan dengan era dideklarasikannya sumpah pemudia Indonesia yang menyatukan tekad dan komitmen tentang persatuan kesatuan Indonesia yang terejawantahkan dalam kesamaan visi tanah air, bangsa, dan bahasa. Puisi pada era ini menyimpangi konvensi bentuk pantun dan syair (yang menjadi bagian dari sastra Melayu lama), beraliran romantik, dan mencita-citakan kemerdekaan, bentuk puisinya masih simetris dan teratur (masa tahun 1920-1942). Mempersoalkan kemerdekaan dan memberontak, beraliran realisme, cenderung menonjolkan keakuan, bentuk puisi yang tidak lagi beraturan, tidak simetris dan tidak mempersoalkan jumlah baris merupakan ciri tahun 1942-1955 sebagaimana Indonesia pada saat itu sedang dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan dari bangsa penjajah Belanda. Menghayati kemerdekaan, mempersoalkan kehidupan manusia secara umum, pergolakan batin dalam puisi bergaya epik pada tahun 1955-1970, sebagaimana Indonesia mulai mengisi kemerdekaan yang telah diraihnya. Gaya mantra, bentuk puisi yang ekstrim, dan tipografi yang unik, bahasa nonsense, absurd menjadi ciri tahun 1970-1990 sesungguhnya memotret perjalanan manusia dan bangsa Indonesia dalam menghadapi persoalan hidup manusia dan kebangsaan di era-era kontemporer saat itu. Dari potret perubahan ini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa faktor utama yang menyebabkan puisi Indonesia selalu berubah dalam setiap tarikh adalah konsep budaya yang mempengaruhi pandangan dan pemikiran masyarakat Indonesia, politik Indonesia, perpaduan budaya subkultur antar daerah di Indonesia serta perpaduan subkltur dengan budaya asing. Jika di tahun-tahun sekarang muncul puisi dengan jenis yang baru, maka itu tidak bisa dipungkiri sebagai hasil respon kehidupan manusia Indonesia terhadap situasi Indonesia masa kini, yang bersangkutan dengan komunikasi lintas-budaya, ras dan gender, identitas global dan lokal, serta ketegangan yang kompleks antara ekonomi dan politik.
Salah satu ragam puisi yang muncul dalam sastra Indonesia mutakhir adalah puisi esai yang dipelopori oleh Denny JA. Terlepas dari polemik yang mengikuti munculnya jenis puisi ini serta kepengarangan Denny JA dalam sastra Indonesia, puisi esai tetap dipandang sebagai sebuah kreativitas sastra yang patut dihargai dan diapreasiasi. Kebaruan yang diciptakan dalam puisi ini mau tidak mau menambah khasanah puisi Indonesia modern di era muthakhir. Melihat bentuk dan gaya ekspresinya, puisi esai menciptakan inovasi dari puisi sebelumnya. Pengembangan bentuk formal puisi dalam puisi esai dapat dilihat dalam pengolahan isu yang hendak diekpresikan tampak lebih kompleks. Bahwa, jika puisi selama ini sudah dipandang cukup hanya dengan mengungkap persoalan jatuh cinta pada seseorang, misalnya “Budi jatuh cinta kepada Ani, tetapi hal ini dipandang tidak cukup untuk menjadi sebuah puisi esai (Denny, JA, 2017). Puisi ini bisa menjadi puisi esai jika ia mampu mendramatisasi cinta itu kedalam persoalan agama, etnis, atau kelas sosial dengan latar yang eksplisit. Nilai plus yang kita dapatkan dari puisi esai adalah kita tidak saja mampu menangkap sisi batin individu, tetapi juga konflik sosial yang ada dan terjadi dalam masyarakat.
Melihat dari tujuannya, maka puisi esai sesungguhnya meniupkan kembali roh sastra bertendens yang sudah dirintis oleh LEKRA pada tahun 1950an. Bahwa puisi bertendens menolak aliran “seni untuk seni” sebagaimana berakar dari aliran formalisme Rusia dan New Criticism Amerika yang mengusung otonomi sastra. Sastra bertendens, sebaliknya, mengusung metode realisme sosialis dengan pengangan politik adalah panglima mengabdi kepada rakyat dan pekerja (Pradopo, 2002). Puisi esai, memiliki kemiripan dengan sastra bertendes, merindukan puisi yang tidak hanya menyentuh hati oleh nilai estetisnya, tetapi juga mendapatkan pemahaman tentang sebuah isu sosial, walau sekilas (Denny, JA, 2017). Namun, berbeda dengan arah sastra bertendensi era tahun 1950-an yang condong kepada satu kepentingan politik pada masa itu, puisi esai justru lebih universal merekam persoalan manusia yang berada di pinggir, tersingkir dari pusat atau mainstream, sehingga ia bisa mewakilkan pergolakan batin manusia yang sedang berada dalam konflik yang sama.
Pertentangan lain yang dibangun dalam puisi esai adalah menyoroti perihal penggunaan bahasa. Seperti yang telah diketahui bahwa puisi mewujudkan fungsinya sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pesan (baca: mengkonstruksi pesan) melalui bahasa yang manipulatif. Manipulatif di sini adalah merangkai kata dalam sebuah cerita yang bersifat fiktif untuk menyampaikan pesan. Umberto Eco (via Chamamah, 2001) menyatakan bahwa pemanipulasian bahasa sastra sesungguhnya dalam upaya mewujudkan sastra sebagai sarana komunikasi yang padat informasi. Artinya bahwa produk sastra, baik prosa maupun puisi, memiliki kekuatan (power) untuk menggerakan hati, pikiran, dan tingkahlaku pembaca terhadap sebuah persoalan. Jika dalam pandangan lama terkesan bahwa “semakin tidak familiar bahasa sebuah puisi, maka semakin tinggi nilai estetisnya”, maka bagaimana masyarakat umum dapat memahami puisi itu secara utuh dan memberikan efek dalam menggerakan hati pembaca?. Kesulitan itu akan membuka ruang terputusnya atau tidak sampainya pesan penyair kepada pembaca. Ruang kosong ini kemudian dimasuki oleh puisi esai dengan mendekonstruksi ide mengenai nilai estetis sebuah puisi terletak pada bahasa yang sulit (tidak familiar). Ia menganggap bahwa semakin sulit bahasa sebuah puisi dipahami masyarakat umum, semakin buruk puisi sebagai medium komunikasi (Denny, JA, 2017). Meskipun demikian, puisi esai tidak menafikkan keberadaan ragam puisi-puisi lain dengan tingkat kesulitan bahasa sebagai pencapaian estetiknya, tetapi ia tidak masuk dalam spirit puisi esai.
Fakta lain yang terlihat dalam puisi esai adalah meskipun ia berupaya mengungkap persoalan sosial dengan tokoh-tokoh yang hidup dalam realitas sejarah atau sosial, ia tetap berada dalam koridor fiksi. Fiksi artinya rekaan yang dibangun oleh pengarang dengan dramatisasi yang dapat menjadi renungan terhadap kehidupan dan refleksi kandungan moral yang sengaja dibangun dalam sebuah kisah nyata, tetapi bukan potongan sejarah yang objektif, bukan pula biografi yang kaku, sehingga ia dapat diterima secara universal. Dengan demikian, puisi esai menyajikan sebuah fakta sosial yang dipotret oleh penyair sebagai mental evidence yang tidak muncul dalam tulisan-tulisan yang bersifat hard fact (bukan sastra).
Implikasi dari persoalan yang diungkap oleh puisi esai yang menyangkut persoalan sosial yang nyata, maka sinergi antara imaginasi dan pengetahuan penyair mengenai persoalan yang diungkapkan itu sangat penting. Artinya, puisi esai tidak sekedar mengandalkan imaginasi, tetapi juga membutuhkan riset seakurat mungkin untuk mengetahui realitas sosial yang akan dituangkannya dalam puisi esai. Jadi, persoalan sosial seperti kemiskinan, agama, etnis, diskriminasi, dapat ditempatkan pada latar sosial yang benar. Penyair memadukan persoalan sosial yang nyata melalui fantasi yang tinggi yang dibangun melalui representasi yang rasional, serta kombinasi yang cerdas dari konvensi dan inovasi, sehingga mampu membawa pembaca menyelami persoalan sosial melalui pengalaman batin seseorang yang biasanya disajikan dalam simbol-simbol yang kompleks, atau harus dikenali melalui pembacaan dokumen-dokumen sosial yang kaku dan serius.
Salah satu elemen yang menjadi penguat keberbedaan puisi esai dengan yang lainnya adalah adanya catatan kaki (footnote). Catatan kaki tidak saja mengatasi kesulitan bahasa yang terekspresi melalui simbol-simbol budaya, tetapi juga memberikan penegasan bahwa puisi ini berangkat dari realitas sosial. Jadi, membaca puisi esai dirasakan sama seperti membaca esai yang mengungkap persoalan sosial. Pembaca dapat dengan mudah menangkap dan menggambarkan persoalan sosial itu dengan jelas melalui sudut pandang tertentu.
Apa yang dapat disuguhkan oleh puisi esai bagi dunia perpuisian itu sendiri dan juga khalayak umum? Pandangan bahwa puisi adalah ekpresi tidak langsung yang memiliki bahasa yang “aneh” akibat deotomatisasi atau defamiliarisasi (Teeuw, 1983), justru menjadikan puisi berada dalam ruang ekslusif penyair dan kalangan tertentu. Sebaliknya ia terasing dari kehidupan masyarakat banyak. Masyarakat umum, hanya mampu menikmati diksi-diksi puisi dalam deklamasi yang fantastis, dengan efek bersifat personal, membangkitkan emosi dan perasaan yang beraneka macam, tetapi tidak mampu memproyeksikan persoalan sosial secara nyata, sehingga ia seperti terputus dari lingkarang sosial yang melatarinya. Dengan demikian, lahirnya puisi esai dapat menjadi wadah untuk membongkar sekat ekslusivitas puisi dalam kehidupan masyarakat secara umum melalui gaya ekspresinya serta melalui persoalan yang diungkapkan dalam puisi tersebut.
Jika melihat bentuknya dan persoalan yang dikemukakan, puisi esai sebenarnya sudah ada dalam periode awal kesusastraan Inggris. Tulisan John Milton dalam Paradise Lost (1667) yang berkisah tentang jatuhnya kasih karunia Allah bagi Adam dan Hawa akibat ketidaktaatannya, George Gordon Byron dalam puisi The Destruction of Sennacherib (1815) yang berkisah tentang upaya pengepungan Yerusalem oleh Sanherib yang diambil dari kisah Bibel. Menurut cerita yang terkait dalam 2 Kings, tentara Assyiria datang "menyerbu semua kota berpagar di Yehuda, dan mengambilnya” (Hanson, 2015). Shakespeare dalam balada-baladanya yang muncul pada abad tujuh belas, atau karya-karya Edgard Alan Poe dalam puisi Israfel dan Al A’raf yang memotret simbolisme Al Quran dalam kaca mata Barat, juga mirip dengan puisi esai seperti yang diusung oleh Denny JA, sebagaimana ia dipandang sebagai pelopor puisi jenis ini. Puisi-puisi inggris sebagaimana tersebut di atas dianggap fenomenal karena mampu merekam persoalan zamannya dalam puisi mereka. Puisi-puisi ini bahkan masih bertahan sampai dengan saat ini dan sering digunakan sebagai acuan dalam memotret konflik sosial, pengalaman religius, dan pengalaman-pengalaman historis lainnya di era-nya. Berikut ini saya menyajikan contoh Puisi Esai berjudul Jejak-Jejak Sunyi di MAsjid Muna karya Wa Ode Nur Iman
JEJAK SUNYI DI MASJID MUNA
Aku baru saja usai mengemas rindu
Lalu menemuimu di beranda rumah
Seperti biasa, kau memeluk dan menciumi seluruh bagian wajahku.
Aku hanya membalasnya dengan melingkarkan tanganku di pinggang dan bahumu
Sore itu
Aku bersamamu
Setelah melewati jalan panjang dan menjumpai banyak cerita
Tak terkecuali bunga-bunga di simpang-simpang jalan
Aku rindu padamu
“Lama kau tak pulang, Nak” ibu mengelus kepalaku
Dia rindu padaku
Pada anak perempuannya yang tersisa
Setelah dua lainnya menikah
Sementara satunya lagi telah menghadap Sang Khalik
“Apalagi yang kau cari?” menjadi pertanyaan pertamanya setelah menyuruhku makan
“Kau selalu enggan memberi kabar, pulang pun tak pernah bilang”
Saya tidak pernah menjawab pertanyaannya
Atau menanggapi setiap pertanyaannya disaat bersamaan
[Selain dengan senyuman, ibu juga tahu itu]
Pertanyaan dan pernyataan itu akan tersimpan sendiri di kepalaku
Dan sewaktu-waktu akan keluar dengan sendirinya
Pada kata-kata atau puisi
“Tidak ada,” jawabnya
“Susah mi sekarang kambuse
Jarang orang makan
Bahkan orang yang dulu-dulu juga suka makan kambuse
Kini beralih makan nasi[3].”
Ibu terus saja menjelaskan mengapa orang-orang memilih mengonsumsi nasi dari beras daripada jagung
Saya sebenarnya tahu jawabnya “tidak ada”
Tetapi saya ingin bilang pada ibu
bahwa kambuse adalah salah satu yang saya rindukan
Sebab kambuse berarti jagung
Jagung berarti kampung[4]
Dengan kambuse saya akan bernostalgia
Dengan kambuse saya benar-benar pulang (kampung)
/2/
Sore itu kami membereskan rindu
“Kalau ada umur panjang, Idul Fitri nanti kita lebaran di Masjid Muna!”
Ibu membuka pembicaraan dengan harapan yang besar bagi saya
Yang saya ingat itu pertama dan terakhir sebelum pembicaraan kami sore ini, berlebaran di Masjid Muna adalah ketika saya masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar.
Kurang lebih 23 tahun yang lalu
Ketika ayah masih ada
Ketika saya masih sering mendengar nasihat ayah
“Tentang bagaimana cara duduk seorang perempuan Muna
Bagaimana layaknya seorang perempuan ketika bertutur
Bahwa janji seorang lelaki tak pernah bisa dijamin kebenarannya
Bahwa seseorang tak boleh menunggu sesuatu selain berharap pada Tuhan
Bahwa perempuan yang terhormat adalah perempuan yang tidak pernah duduk mengangkang
Perempuan yang mandiri adalah yang tidak hanya berharap dari pendapatan seorang lelaki
Bahwa betapa pun banyaknya pendapatan seorang lelaki, perempuan pun harus memiliki pendapatan sendiri.
Bahwa perempuan harus mandiri”
Dengan segala tetek-bengek
Pandangan tradisional
Juga kehidupan zaman modern yang dipahaminya
“Iya Mama. Insyaallah”
“Nanti kita bisa minta baca doa selamat di sana
Sudah terlalu banyak yang kita lewatkan
Kita sudah terlalu sibuk dengan apa yang disibukkan orang-orang
Kali ini ibu lebih serius dari percakapan kami sebelum-sebelumnya
Nampaknya ia sedang merasakan sesuatu yang berbeda[7]
Yang tak bisa ia tafsirkan sendiri
Saya sudah menghabiskan dua bika-bika
Sementara ibu masih dengan keinginannya
Untuk merakayan Lebaran Idul Fitri di Masjid Muna
Masjid yang dianggap suci oleh seluruh masyarakat yang ada di Pulau Muna
Tempat yang dianggap sebagai lokasi yang mengesankan[8] kedatangan orang-orang dari luar Pulau Muna
/3/
Matahari kian condong ke Barat
Senja kian indah
Sayup-sayup cerita tentang Masjid Muna kembali mengapung di ingatan
“Pada zaman dahulu tersebutlah suatu masa
Yang pernah ada dan berjaya
Itu berada di Muna
Sebuah pulau yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara
Kehidupan rakyatnya makmur dan dipimpin oleh seorang raja
Raja tersebut bernama La Ode Rahman yang digelar Sangia Latugho
La Ode Rahman adalah anak dari Raja sebelumnya yaitu La Ode Kadiri digelar Sangia Kaendea
Dalam kisahnya
La Ode Kadiri memiliki permaisuri bernama Wa Ode Wakelu dari Buton
Perkawinan La Ode Kadiri dengan Wa Ode Wakelu menimbulkan kemarahan pihak Kerajaan Buton
Karena pihak kerajaan ingin menjodohkan La Ode Kadiri dengan Wa Ode Sope
Keinginan Kerajaan Buton adalah sebagai bentuk siasat agar Kerajaan Muna berada di bawah kekuasaan mereka
Yang pada saat itu Kerajaan Buton bersekongkol dengan Belanda
Jelang akhir hidupnya,
La Ode Kadiri berpesan kepada anaknya
Agar menikahi Wa Ode Sope[9]
La Ode Rahman lalu memenuhi wasiat ayahnya
Mempersunting Wa Ode Sope sebagai permaisuri di kerajaan
Pada suatu hari di masa pemerintahan Raja La Ode Rahman di Abad XVI
Datanglah seorang Arab bernama Syaikh Abdul Wahid atau Syarif Muhammad yang oleh masyarakat Muna dikenal dengan sebutan Saidhi Raba (Syaikh Arab)
Ia membawa ajaran Islam
Sang raja dalam hal ini La Ode Rahman bersedia menerima Islam sebagai agama resmi di kerajaan dengan suatu syarat
Syarif Muhammad kemudian menanyakan syarat apa yang harus dipenuhinya
“Saya akan menerima Islam sebagai agama resmi di kerajaan ini dengan syarat permaisuri harus mengandung anak dari saya”
Posisi Wa Ode Sope menjelang menopause
Sehingga syarat tersebut diajukan
“Baik. Saya akan memenuhi syarat itu”
Syarif Muhammad kemudian menunaikan salat dua rakaat
Meminta kekuasaan Allah agar permaisuri raja dapat mengandung anak raja
Syaikh Arab Syarif Muhammad melakukan salat dua rakaat
Ia bermunajat kepada Allah swt agar raja diberi keturunan
Ketika itu Syarif Muhammad menghilang dari pandangan raja
Yang ada di hadapannya hanyalah setitik air
Tidak lama kemudian, Syarif Muhammad terlihat kembali.
Namun seluruh tubuh dan jubahnya basah kuyup
Syarif Muhammad berkata kepada raja
“Dengan izin Allah, saya telah meletakkan roh anak laki-laki ke dalam rahim permaisuri Tuan Raja. Bila dia lahir nanti, saya berpesan agar anak itu diberi nama Husein.”
Benar bahwa permaisuri raja melahirkan anak Laki-laki
Anak tersebut diberi nama La Ode Huseini
Yang selanjutnya menjadi Raja Muna XVI
Ia memerintah pada tahun 1716–1757 Masehi yang diberi gelar Omputo Sangia
Demikianlah akhirnya Islam menjadi agama resmi di Kerajaan Muna[10]
/4/
“Kala poguru maka suli poguru”[11]
Menggema dengan nada tegas
Keluar lancar dari celah bibir ibu
Senantiasa terngiang
Sesuka hatinya kapan saja ia mau
Ia menjadi api pada masa yang dingin
Bahkan aku ketika mulai mengenal cinta
Cinta yang membara dari anak remaja seusiaku
“Jangan pernah mencintai sampai seratus persen
Ia akan membuatmu repot
Apalagi kalau kau masih belum mengenal cinta
Cinta yang hakiki”
Pun ampuh meredam gejolak keinginan
Seperti hasrat seorang remaja kebanyakan
Yang bersemayam di tubuhku
“Iya, ayah”
Aku mengingatmu
Juga kata-kata yang pernah dan selalu kau ucapkan
Aku senanitasa mencintai ayah lebih dari lelaki mana pun
Juga selalu merindukannya kapan saja
Kemudian beberapa lelaki mengisi jiwaku
Tak pernah penuh
Menjadi tumpah
Tanpa sisa
Di hari lain ibuku hadir dengan cerita-cerita indahnya tentang ayah
Ayah yang membimbingnya mengenal Tuhan dari tubuhnya sendiri
Mengenal Tuhan tidak hanya dengan gerak tubuh
Bahwa Tuhan ada di segala penjuru
Lebih dekat dari nadi
Di sekujur tubuh
Di segala keadaan
Di kesusahan
Di kebahagiaan
Di langit
Di surga
Seperti yang didengar dari nenek moyangnya sendiri
Di zaman kerajaan yang berjaya
Yang merantau
Pulang kembali
Belajar lagi
Belajar terus
Semakin tahu
Semakin tidak tahu
Menjadi rendah di ketinggian
Menjadi ramai dalam diam
Menjadi bijak
Tunduk dalam keadaan bangun
Hidup adalah belajar yang tidak ada putus-putusnya
/5/
Melewatkan bulan Saban Tahun Hijriah
Ada yang berbondong-bondong
Menuju kampung tua
Kota Muna[12]
Tempat dibangunnya Masjid Muna
Tempat adanya kuburan para Raja Muna
Kuburan para leluhur hampir seluruh orang Muna
Menziarahi kuburan raja
Menziarahi kuburan nenek moyang
Membakar dupa
Mendoakan ketenangan yang telah pergi
Bertemu dengan keluarga yang jauh
Berkenalan kerabat yang belum pernah ketemu[14]
Ziarah kubur selesai
Tembaha wula adalah menjalani ketenangan
Menuju kemenangan
/6/
Lebaran sebentar lagi
Dendang Syawal mulai menggema
Ramadan akan berlalu
Baju baru telah dibeli
Sandal baru akan dipakai
Wangi parfun sudah menggoda
Seperti tak sabar menunggu hari kemenangan
Gema takbir berkumandang
Hari kemenangan telah tiba
Orang-orang Islam akan kembali fitrah
Dua anak perempuan yang usianya sama 10 tahun
Saudara sepupu yang saling merindu
Abba dan Sabina
Abba tinggal di kampung
Sabina tinggal di kota bersama orang tuanya
Mereka bergembira
Dengan baju baru
Sandal baru
Merayakan kemenangan bersama keluarga[15]
/7/
Masjid megah yang biasa sepi
Mendadak ramai
Oleh penduduk Muna
Yang merayakan lebaran
Merayakan Hari Raya Idul Fitri
Hari kemenangan setelah sebulan berpuasa
Anak-anak berlarian di kerumunan
Melebur bersama anak-anak yang lain
Meski tak saling mengenal
Dengan niat masing-masing
Memohon keberkahan Tanah Muna
Meminta restu dari para pejabat[17] masjid
Orang-orang berdesak memasuki masjid menjadi biasa
Tanpa melepas alas kaki menjadi lumrah
Tak ada yang saling mengurusi
Meski ada beberapa menggerutu
Heran dalam hati
Masjid Muna
Tempat suci
Di masjid ini sungguh berbeda
Dalam sejarah, juga perlakuan.[18]
/8/
Sejarah adalah jembatan
Ia menyeberangkan peristiwa
Sejarah adalah ibrah
Ia menjadi pelajaran
Bisa ditarik ke masa sekarang
Untuk mendapatkannya bergantung pada diri kita
Terus mencari
Dengan atau tanpa alas kaki
Adalah pilihan!
Kendari, Desember 2017
[1] Dalika: tungku dapur yang terbuat dari tiga bongkah batu. Sekarang ini, akan sulit menemukan dalika di rumah-rumah penduduk karena sudah beralih menggunakan kompor minyak tanah bahkan kompor gas. Padahal menurut orang-orang tua, makanan yang ditanak di dalika akan terasa lebih enak/nikmat dibandingkan dengan yang ditanak di kompor. Orang-orang Muna yang merantau jauh dari Pulau Muna tidak jarang merindukan makanan yang ditanak di dalika. Dalam Kamus Muna—Indonesia karya Prof.Dr.La Ode Sidu Marafat, M.S. dan Dr. Rene van den Berg terbitan Pustaka Puitika tahun 2013 halaman 115, dalika berarti ‘tungku dapur’ (tiga buah).
[2]Kambuse adalah makanan khas/pokok masyarakat Muna yang terbuat dari jagung. Jagung yang biasa dijadikan kambuse adalah jagung tua. Ada macam-macam kambuse, yaitu kambuse ngkogoga yang proses merebusnya tidak menggunakan kapur siri. Kambuse kapusu yang dimasak dengan menggunakan kapur siri, rasanya lebih enak daripada kambuse ngkogoga. Dan yang terakhir adalah kambuse waho, yaitu jagung yang masih muda dipetik dari tongkolnya lalu direbus seperti biasa. Proses memasaknya akan lebih cepat dibandingkan dua jenis kambuse lainnya. Dalam Kamus Muna—Indonesia karya Prof. Dr. La Ode Sidu Marafat, M.S. dan Dr. Rene van den Berg terbitan Pustaka Puitika tahun 2013 halaman 287, kambuse berarti ‘jagung rebus’.
[3]Banyak masyarakat Muna yang mengalihkan makanan pokoknya pada nasi dalam hal ini beras. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat bahwa mereka yang mengonsumsi kambuse adalah masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah sehingga tidak mampu membeli beras. Pada akhirnya, petani jagung semakin berkurang.
[5]Bika-bika: penganan tradisional sejenis pisang goreng. Bedanya adalah kalau pisang goreng diberi tepung terigu, sedangkan bika-bika menggunakan parutan ubi kayu/singkong. Bika-bika sering pula disebut sanggara kadhampu ‘pisang goreng yang tepungnya tebal’. Zaman dahulu, bika-bika menjadi salah satu pilihan sarapan pagi dan bekal ketika pergi ke kebun, di samping jenis umbi-umbian.
[6] Haroa: membaca doa yang dirangkaikan dengan makan bersama. Menu haroa terdiri atas makanan-makanan tradisional. Umumnya makanan manis, seperti cucur, wajik, sirkaya, ayam gorem, dan lain-lain. Dalam Kamus Muna—Indonesia karya Prof. Dr. La Ode Sidu Marafat, M.S. dan Dr. Rene van den Berg terbitan Pustaka Puitika tahun 2013 halaman 239, haroa berarti ‘selamatan, kenduru, makanan pesta (agama)’.
[7] Orang-orang tua di Muna zaman dahulu mengandalkan firasat dalam menafsirkan atau menentukan sesuatu. Namun, apabila masih bimbang dengan pikiran yang mereka tafsirkan, mereka akan mencari orang lain yang dianggap memiliki kemampuan lebih untuk melakukan doa bersama atau menentukan keputusan.
[8] Siapa pun yang berkunjung ke Pulau Muna akan dianggap tidak sah kunjungan yang dilakukannya sebelum menginjakkan kaki di Masjid Muna dan sekitarnya. Di sekitar Masjid Muna terdapat banyak tempat yang wajib dikunjungi, di antaranya Makam Para Raja Muna, Batu Berbunga, dan Sawerigading: Kapal karam yang sudah menjadi gunung batu. Disinyalir bahwa orang pertama menghuni Pulau Muna berasal dari Sulawesi Tengah.
[10] Cerita tersebut terdapat dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Muna yang ditulis oleh Dr. Aderlaepe, S.S., M.Hum. Selain itu, cerita ini pun berkembang di masyarakat.
[11] Kala poguru maka suli poguru ‘pergi belajar lalu pulang belajar’ adalah salah satu ungkapan dari orang tua di Muna pada zaman dahulu. Ungkapan itu selalu menjadi pesan yang disampaikan kepada anak-anak yang akan menempuh pendidikan atau merantau di daerah lain dan jauh dari sanak keluarga. Sederhananya adalah ungkapan tersebut menyiratkan bahwa betapa pun banyaknya ilmu yang telah ditempuh di luar daerah, seseorang akan selalu menyesuaikan dengan falsafah hidup sehari-hari masyarakat setempat.
[12] Walaupun dikatakan sebagai Kota Muna, namun lingkungan sekitar Masjid Muna bukanlah sebuah kota. Di sana hampir tak terlihat kehidupan yang bergairah. Keadaannya seperti kota mati. Panas terik ketika siang hari dan dingin menggigil ketika malam telah tiba. Tak ada listrik. Tidak ada sumber air bersih. Satu-satunya sumber air adalah sebuah sumur yang kedalamannya mencapai 113 meter yang berhasil digali oleh beberapa orang yang dipelopori oleh Bapak Prof. La Iru. Tak heran, sumur tersebut diberi nama Sumur La Iru dan diresmikan pada 13 Juni 2014.
[13] Tembaha wula: tradisi menembak bulan pada malam tanggal 1 Ramadan Tahun Hirjiah. Ia juga sebagai bentuk perayaan umat Islam dalam menyambut datangnya bulan puasa. Tembaha wula dilakukan dengan membaca doa bersama yang dipimpin oleh imam dan setelah itu dilakukan makan bersama dengan haroa. Salah satu puisi yang menceritakan tembaha wula pernah ditulis oleh penulis sendiri (Wa Ode Nur Iman) dan masuk dalam antologi puisi Merindu Mentari di Bumi Anoa yang memuat karya-karya puisi penyair Sulawesi Tenggara yang diterbitkan pertama kali oleh Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2015.
[14] Seperti halnya masyarakat Indonesia, orang Muna pun memiliki tradisi membersihkan atau menziarahi kubur sebelum memasuki bulan puasa. Pada musim ini, di Kota Muna, Anda akan melihat sebanyak-banyaknya masyarakat Muna. Mereka membersihkan kuburan nenek moyang mereka. Tidak jarang mereka tidak saling mengenal karena sudah menjadi cucu dengan lapis kesekian sehingga momen membersihkan kubur juga menjadi ajang silaturahmi dengan sanak keluarga yang selama ini tidak pernah bertemu bahkan tidak saling mengenal.
[15] Merayakan lebaran di kampung halaman bersama keluarga tercinta merupakan kebahagiaan paling dalam. Apalagi bagi mereka yang hidup di kota dan jauh dari orang tua. Lagi pula suasana lebaran di kampung dengan di kota berbeda. Di kampung masih lebih terasa karena rasa persaudaraan masih kental. Sesama tetangga masih saling mengunjungi. Demikian juga di luar suasana lebaran. Antara tetangga satu sama lain masih saling memperhatikan, sedangkan di kota tidak seperti di kampung. Gaya hidup urban merupakan sesuatu yang biasa. Tidak saling mengenal satu sama lain dengan tetangga merupakan hal biasa. Susanan seperti ini pun terbawa sampai pada suasana lebaran.
[16] Wilayah Kerajaan Muna dibagi menjadi empat wilayah/distrik kekuasaan yang pada saat itu dikenal dengan sebutan Fato Ghoerano. Empat wilayah tersebut adalah Ghoerano Katobu, Ghoerano Loghia, Ghoerano Lawa, dan Ghoerano Tongkuno.
[17] Pejabat di Masjid Muna dibagi menjadi tiga bagian, yaitu imam, khatib, modi. Para pengunjung yang merayakan lebaran di Masjid Muna akan memilih pejabat mana yang akan mendoakannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk semua keluarganya. Bagi yang masih memiliki darah keturunan raja atau bangsawan, kaomu dan walaka, yang ditandai dengan gelar kebangsawanan yang melekat di nama mereka, La Ode untuk Laki-laki dan Wa Ode untuk perempuan, (tanpa bermaksud membesar-besarkan strata sosialnya sendiri di masyarakat) akan memilih pejabat tertinggi dalam masjid, yaitu Imam. Akan tetapi, strata sosial di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari saat ini tidak lagi terlalu tampak. Apalagi saat ini, semua warga negara berhak mengakses pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Tidak jarang, mereka yang berpendidikan tinggi dipandang tinggi atau dohormati oleh masyarakat karena status pendidikannya.
[18]Agama Islam masuk di Muna sebelum masa pemerintahan Raja La Ode Rahman, namun persebarannya belum maksimal di masyarakat sebab di kerajaan pun belum menjadi agama resmi. Dalam sebuah wawancara penulis dengan Imam Masjid Muna saat ini, yaitu Bapak Ismail (72 tahun), Masjid Muna dibangun pertama kali oleh Raja Muna X, yakni La Titakono yang memerintah pada tahun 1600—1625 M. Namun, kondisi masjid tersebut bersifat darurat. Nanti pada masa pemerintahan Raja La Ode Huseini tahun 1716—1757 M, masjid tersebut direhab dan menjadi lebih baik tanpa mengubah bentuk asli masjid yang telah dibangun sebelumnya. Memasuki Abab XVII, pada masa pemerintahan Raja La Ode Dika masjid tersebut direhab, namun sayangnya bentuk aslinya telah berubah. Tahun 1960-an, Kabupaten Muna menjadi wilayah administrasi pemerintahan. Tahun 1986—1997, di bawah kepemimpinan Bupati Muna, Alm. Bapak Drs. Maola Daud, lokasi Masjid Muna dipindahkan dari tempatnya semula dengan alasan akan dibangun masjid yang lebih luas agar dapat menampung pengunjung maupun jamaah yang akan beribadah. Saat itu, Masjid Muna dibangun dengan mengubah bentuk aslinya. Nanti pada masa pemerintahan Ridwan Bae pada tahun 2000—2010 Masjid Muna direhabilitasi secara besar-besaran. Masjid dibangun seluas 30x40 meter dengan tinggi fondasi 100 meter sehingga masjid menjadi terlihat megah dan berada di ketinggian. Sayangnya, saat ini Masjid Muna tidak digunakan sebagaimana mestinya, yakni sebagai tempat beribadah setiap hari. Masjid itu hanya digunakan pada hari Jumat, hari raya, atau perayaan hari besar agama Islam seperti Maulid dan sebagainya. Lebih lanjut, imam masjid saat ini (Bapak Ismail) mengungkapkan bahwa masjid akan terbuka pada hari Jumat karena orang-orang dari luar wilayah Kecamatan Tongkuno (Lokasi Masjid Muna) akan berdatangan untuk melakukan salat Jumat di masjid megah tersebut. Itu pun jemaah yang hadir tidak akan lebih dari dua shaf atau barisan. Masjid Muna kesepian di wilayah luas nan hijau. Dalam kemegahannya yang bersahaja, sesungguhnya ia terpencil. Apakah orang-orang Muna sendiri yang tidak mau mendekatkan dirinya kepada masjid tersebut atau masjidnya yang terlalu mulia dan menjadi sayang untuk didatangi setiap hari. Entahlah!
Telaah Singkat
Struktur Estetik Puisi Esai: Memadukan bentuk formal puisi simetris dengan gaya Epik
Puisi esai yang berjudul Jejak-Jejak Sunyi Di Masjid Muna karya Wa Ode Nur Iman memadukan bentuk formal puisi yang ada sebelumnya dengan gaya epik (bercerita). Bentuk yang dimaksud adalah ia masih mempertahankan bentuk puisi yang terdiri dari baris-baris yang tersusun rapi dalam setiap bait tetapi tidak simetris, bebas, kadang-kadang membuat penekanan pada kata atau kalimat tertentu dengan cara memiringkan huruf-huruf dalam baris atau bait tertentu, bahkan ada dialog. Bentuk seperti ini tampaknya memang sudah menjadi preskripsi puisi esai, karena terlihat hampir semua puisi yang menjadi objek telaah saya menunjukkan bentuk yang sama. Akan tetapi, bentuk puisi yang terlihat rapi itu justru menceritakan sebuah kisah yang menyerupai cerita pendek atau jenis prosa. Bentuk puisi yang bergaya epik sudah pernah ditulis oleh Sapardi Djoko Damono berjudul Air Selokan. Jika Damono ‘menghianati’ bentuk formal puisi yang terdiri dari bari-baris rapi dan sejajar, tetapi seperti prosaa yang terbangun dalam paragraf, meskipun tetap menandai diri dalam gaya ekspresinya yang padat sebagai ciri khas puisi. Sebaliknya, puisi esai mempertahankan konvensi bentuk puisi yang terdiri dari baris-baris rapi dengan beberapa perluasan, tetapi gaya ekpresinya bercerita seperti prosa. Perbedaan lain puisi Damono adalah ia tidak eksplisit memunculkan latar isu-isu sosial tersebut sebagaimana puisi esai ditampilkan secara jelas.
Puisi esai juga menggunakan variasi bahasa tidak saja dalam permainan kata dalam bahasa Indonesia, tetapi juga lokal, dan asing, yang menambah nilai estetis puisi esai. Bentuk formal puisi esai yang mirip dengan bentuk ragam puisi lain menemukan sensasi ketika dipadukan dengan gaya eskpresi epik (bercerita) yang padat tapi runut. Antara bait satu ke baik yang lain saling berkesinambungan, sehingga menghasilkan satu proyeksi cerita yang alurnya jelas, bersama tokoh-tokoh dan penokohan, serta setting yang lengkap serta penggalan dialog. Gaya bercerita itu diperkuat dengan pembabakan dalam setiap jeda puisi esai yang menandakan peralihan alur atau persoalan yang diungkapkan. Inovasi baru yang muncul dalam puisi esai adalah penambahan footnote yang berfungsi sebagai penjelas simbol-simbol budaya yang berlaku dalam konteks masyarakat tertentu yang memungkinkan tidak dipahami oleh khalayak umum.
Jejak-Jejak Sunyi Di Masjid Muna karya Wa Ode Nur Iman mengungkap eksistensi Islam di Pulau Muna melalui simbol warisan sejarah religi ‘Mesjid Muna’, yang kemudian beralih fungsi tidak lagi sebagai tempat ritual ibadah yang sakral, tetapi juga sebagai sarana wisata religi di masa sekarang yang justru menimbulkan ketidakpedulian akan simbol-simbol religiusitas tersebut. Potret religiusitas orang Muna yang beragama Islam kemudian dihadirkan melalui sejarah masa kerajaan, yang melibatkan tokoh-tokoh penting seperti Raja Muna, pendatang dari Arab, dan kerajaan Buton untuk menegaskan bahwa Islam orang Muna juga berasal dari sumber yang asli. Pengungkapan isu hubungan Muna dan Buton pun mencuat dalam memotret deal-deal politik pada era itu. Muna digambarkan sebagai kerajaan yang menentang penjajah, berbeda dengan Buton yang disinyalir bersekutu dengan penjajah untuk menaklukan Muna. Akan tetapi, peran agama Islam terlihat begitu kuat menyatukan dua negeri ini melalui simbol penyatuan darah untuk menghindari lecutan sengketa kekuasaan. Hal ini sekaligus untuk menegaskan bahwa Muna dan Buton adalah bersaudara yang berdampak pada terciptanya hubungan yang ‘intim’ hingga saat ini.
Potret eksistensi simbol religiusitas yang sudah dibangun pada masa kerajaan silam itu diinterseksi dengan ajaran-ajaran yang memadukan ajaran adat dan islam yang berlaku hingga masa sekarang. Ajaran tentang bagaimana menjadi seorang perempuan sejati begitu eksplisit dinyatakan dalam puisi ini. Negosiasi ide mengenai konsep perempuan konvensional—yang patuh—tetapi di sisi lain perempuan juga diajarkan bagaimana menjadi perempuan yang mandiri dengan cara memiliki ilmu pengetahuan sebagai jalan kepada kebebasan atau kemandirian. Ini merupakan konsep menjadi perempuan Muna yang bermartabat, memelihara potensi feminitas dan peran domestis, tetapi meluaskan peran publik.
Potret eksistensi simbol religiusitas orang Muna juga ditampilkan melalui cara orang muna menegosiasikan simbol-simbol Islam dan adat dalam melakukan ritual-ritual Islam. Salah satunya adalah tradisi menyambut lebaran atau Idul Fitri;Haroa yang berarti sesajen yang biasanya dilengkapi dengan pembakaran dupa (tradisi Hindu-Budha), dan aktivitas menghirup asap dupa sebagai cara untuk memakbulkan doa, Solat dan baca Haroa di Mesjid, perlengkapan pakaian baru, dan sebagainya. Tradisi ini kemudian menciptakan identitas Muslim Muna berbeda dengan identitas muslim di tempat lain.
Penyair kemudian mulai menyangsikan kelestarian ritual itu. kekhawatiran hilangnya respek terhadap simbol-simbol religiusitas yang akan menghapus jejak sejarah dan ajaran yang suci itu, yang ditengarai oleh berubahnya status wajib menjadi “pilihan” yang berarti sesuatu yang sakral itu bukan lagi kewajiban manusia, tetapi berlaku “boleh saja” tergantung kemauan individu.
Daftar Bacaan
Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp. London, New York: Oxford University Press
Chamamah, S. (2001). Pengkajian Sastra dari Sisi pembaca: satu Pembicaraan Metodologi. In J. (ed), Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: handinita.
Denny, JA. 2017. Puisi Esai: Apa dan Mengapa ? Dalam Denny, JA Dkk. Memotret Batin dan Isu Sosial Melalui Puisi Esai. Jakarta: Inspirasi.co Book Project.
Dorsch, T.S. 1965. Aristotle, Horace, Longinus: Classical Literary Criticism. New York: Penguin Books.
Enre, A.F. 1963. Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Dua Puluhan. Yogyakarta.
Hanson, Marilee. "The Destruction of Sennacherib – Lord Byron Poem" https://englishhistory.net di akses 2 Maret 2015
Pradopo, R,D. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
-----------------. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Soemardidjaja, L.S. 1966. Beberapa Masalah Historis dalam Sejarah Periodisasi Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
-------------.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
* Ulasan ini merupakan bagian dari artikel yang akan diterbitkan dalam serial Puisi esai asal Sulawesi Tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar