Saya mengenal Goodwill & Family Store ketika saya berada di DeKalb, Illinois, USA, sekitar September sampai Desember tahun 2016. Dua tempat ini menjadi tempat favorit saya dan teman-teman untuk belanja kebutuhan pakaian untuk musim dingin (Winter) pada saat itu. Kami membutuhkan baju-baju yang dapat memberikan kehangatan di tengah adaptasi hawa dingin di bawah nol derajad saat itu.
Goodwill dan Family Store rupanya bukan sekedar tempat belanja barang-barang bekas yang sangat terjangkau dengan kualitas baik, tetapi kedua toko itu adalah lembaga charity yang menyediakan lapangan kerja dan skill bagi masyarakat tak mampu. Salah satunya adalah penggalangan dana yang ditempuh melalui industri penyediaan barang-barang dagangan yang bernilai "sedekah".
Goodwill dan Family store merupakan dua pusat belanja keluarga yang menyediakan barang-barang second hand yang didapat dari cara donasi dari berbagai kalangan, dan kemudian dijual kembali dengan harga yang terjangkau. Hasil penjualan ini kemudian digunakan untuk membantu orang-orang yang tidak mampu dan orang-orang cacat (disable) agar tetap mendapatkan kesempatan dalam pendidikan dan kehidupan yang layak serta mendanai pusat-pusat rehabilitasi sosial. Jadi, belanja dan mendonasikan barang-barang dan belanja ke Goodwill dan Family Store sama dengan berpartisipasi dalam kegiatan amal tersebut. Saya dan Teman-teman saya pun selama di AS lebih memilih belanja di kedua toko tersebut, dan ketika pulang ke Indonesia barang-barang itu kami donasikan kembali ke Goodwill dengan cara mengembalikan barang-barang itu ke kotak yang sudah disediakan di Asrama kami menjelang libur musim dingin.
Goodwill dalam sejarahnya dibangun pada tahun 1902 di Boston atas gagasan seorang Pastur bernama Edgar J Helms, seorang petinggi Methodist dan inovator sosial awal. Helms mengumpulkan barang-barang bekas seperti barang-barang rumahtangga dan pakaian dari orang-orang yang kaya di kota, kemudian melatih dan membayar orang-orang tidak mampu untuk memperbaiki barang-barang bekas tersebut. Barang-barang bekas tersebut kemudian dijual kembali atau diberikan kepada mereka yang telah memperbaikinya. Sistem ini berhasil, dan mencetuskan filosofi Goodwill tentang “a hand up, not a hand out” (tangan ke atas, bukan tangan ke bawah).
diambil dari laman Family store/salvationarmy.org |
Senada dengan Goodwill, Family Store yang memiliki semboyan “The Salvation Army” (bala keselamatan) juga menerapakan prinsip dan kerja yang sama. Mengumpulkan barang-barang donasi sukarela dari masyarakat mampu dan kemudian barang-barang tersebut dijual kembali dengan harga terjangkau. Hasil penjualan ini kemudian digunakan untuk membiayai pusat-pusat rehabilitasi, misalnya pusat rehabilitasi korban narkoba, dimana orang-orang yang berada dalam cengkeraman candu menemukan bantuan, harapan, dan kesempatan kedua dalam hidup.
Dua pusat belanja keluarga ini merupakan program industri serta perusahaan layanan sosial, penyedia lapangan kerja, pelatihan dan rehabilitasi bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan, dan sumber bantuan sementara untuk individu yang tidak memiliki mata pencaharian tetap. Kedua pusat belanja ini telah menjadi salah satu destinasi belanja bagi masyarakat Amerika khususnya kalangan bawah, tidak terkecuali masyarakat Indonesia yang berada di Amerika. Harga dan kualitas barang terjamin, sehingga kepuasan pelanggan pun terpelihara. Belanja di Goodwill dan Family Store merupakan upaya berpartisipasi dalam program kemanusiaan.
(sumber,goodwill.org/salvation.army.org)
Sepenggal kisah dari pengalaman
Visiting Scholar PKPI-Ristekdikti Republik Indonesia Program 2016
di Northern Illinois University, Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar